

Kedua : Tidak melakukan Ta’thil, Tahrif, Tamtsil, dan Takyif
Ta’thil (penolakan)
Yaitu menolak sifat-sifat itu pada Allah ﷻ. Seperti yang dilakukan oleh sekte al-Jahmiyah dan Muktazilah, mereka menolak seluruh sifat yang ada pada Allah ﷻ, dengan dalih bahwa menetapkannya bisa menjerumuskan ke dalam kesyirikan. Demikian juga Asya’iroh yang menolak seluruh sifat kecuali hanya tujuh sifat karena selian tujuh sifat jika ditetapkan maka akan menyebabkan tasybih Allah kepada makhluk atau menyebabkan tajsiim (Allah merupakan jism).
Tahrif (menyimpangkan)
Tahrif ada dua:
Tahrif pada lafaz
Seperti sebagian ahli bid’ah yang mengubah lafaz Al-Qur’an,
وَكَلَّمَ اللَّهُ مُوسَى تَكْلِيمًا
“Dan Allah ﷻ benar-benar berbicara dengan Musa.” (QS. An-Nisa: 164)
Diubah menjadi وكلم اللهَ موسى تكليما yang artinya, “Dan sungguh benar-benar Musa ‘alaihissalam berbicara kepada Allah ﷻ”. Mereka merubah lafaz tersebut karena mereka mengingkari sifat “berbicara” Allah ﷻ. Akhirnya mereka merubah lafaz tersebut agar yang berbicara bukanlah Allah ﷻ akan tetapi Musa ‘alaihissalam.
Akan tetapi Tahrif pada lafaz saat ini sudah tidak ditemukan lagi.
Tahrif pada makna (disebut juga takwil)
Seperti sebagian ahli bid’ah yang men-tahrif makna اِسْتَوَى istawa (di atas) dengan اِسْتَوْلَى istaula (menguasai), الْيَدُ al-yad (tangan) dengan الْقُوَّةُ al-quwwah (kekuatan).
Tamtsil (menyamakan)
Yaitu menyamakan sifat yang ada pada Allah ﷻ dengan sifat yang ada pada makhluk-Nya. Seperti perkataan sebagian ahli bid’ah, “Tangan Allah ﷻ seperti tangan si fulan”. Penyimpangan jenis ini juga jarang terjadi di zaman ini.
Takyif (membagaimanakan)
Yaitu menggambarkan sifat Allah ﷻ dengan suatu sifat yang dimaklumi. Perbedaan antara tamtsil dengan takyif, perbuatan tamtsil berarti membandingkannya dengan makhluk yang lain (al-mumaatsal bihi), adapun takyif tidak dilakukan perbandingan dengan yang lain.
Diagram hubungan antara penyimpangan-penyimpangan tersebut :
Hubungan antara ke empat jenis penyimpangan ini yaitu:
Apabila seseorang men-tamtsil maka dia telah men-takyif, namun tidak sebaliknya.
Apabila seseorang men-takyif maka dia telah men-tahrif, namun tidak sebaliknya.
Apabila seseorang men-tahrif maka dia telah men-ta’thil, namun tidak sebaliknya.
Kaidah Kelaziman (Konsekuensi)
كُلُّ مُعَطِّلٍ مُشَبِّهٌ (seluruh penolak sifat berarti dia telah menyerupakan)
Hal ini karena sebelum dia menolak dia pasti menyerupakan Allah ﷻ terlebih dahulu dengan selain-Nya. Seperti ahli bid’ah yang menolak istiwa’ Allah ﷻ di atas Arasy lalu men-tahrif ke makna istaula (menguasai). Hal itu mereka lakukan karena sebelum mereka men-tahrif hakikatnya mereka telah menyerupakan Allah ﷻ dengan selain-Nya. Mereka menganggap bahwa jika Allah ﷻ ber-istiwa’ di atas sebuah tempat maka Allah ﷻ butuh kepada tempat tersebut, atau jika tempat tersebut jatuh maka Allah ﷻ juga akan jatuh sebagaimana jika seorang manusia duduk di atas sebuah kursi. Tentu ini adalah bentuk menyerupakan Allah ﷻ dengan makhluk, sehingga dia kemudian menolak makna istiwa’ lalu men-tahrif ke istaula (menguasai).
Anggapan seperti ini mudah untuk dibantah dengan mengatakan bahwa tidak semua yang di atas itu butuh dengan yang di bawah. Sebagaimana tidak butuhnya langit terhadap bumi yang ada di bawahnya, tentu Allah ﷻ lebih tidak butuh kepada yang di bawahnya.
Allah ﷻ berfirman,
خَلَقَ السَّمَاوَاتِ بِغَيْرِ عَمَدٍ تَرَوْنَهَا ۖ
“Dia menciptakan langit tanpa tiang yang kamu melihatnya.” (QS. Luqman: 10)
Bagaimana Allah membutuhkan langit sementara langit yang membutuhkan langit agar tidak bergeser.?
Allah berfirman :
إِنَّ اللَّهَ يُمْسِكُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ أَنْ تَزُولَا وَلَئِنْ زَالَتَا إِنْ أَمْسَكَهُمَا مِنْ أَحَدٍ مِنْ بَعْدِهِ إِنَّهُ كَانَ حَلِيمًا غَفُورًا
Sesungguhnya Allah menahan langit dan bumi supaya jangan lenyap; dan sungguh jika keduanya akan lenyap tidak ada seorangpun yang dapat menahan keduanya selain Allah. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penyantun lagi Maha Pengampun (Fathir : 41)
Bagaimana mau dibayangkan bahwa langit meliputi dan menaungi Allah sementara langit begitu sangat kecil dibandingkan dengan kebesaran Allah.?
Allah berfirman :
وَمَا قَدَرُوا اللَّهَ حَقَّ قَدْرِهِ وَالْأَرْضُ جَمِيعًا قَبْضَتُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَالسَّمَاوَاتُ مَطْوِيَّاتٌ بِيَمِينِهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى عَمَّا يُشْرِكُونَ
Dan mereka tidak mengagungkan Allah dengan pengagungan yang semestinya padahal bumi seluruhnya dalam genggaman-Nya pada hari kiamat dan langit digulung dengan tangan kanan-Nya. Maha Suci Tuhan dan Maha Tinggi Dia dari apa yang mereka persekutukan (QS Az-Zumar : 67)
كُلُّ مُشَبِّهٍ مُعَطِّلٌ (setiap orang yang menyerupakan Allah ﷻ dengan selain-Nya berarti dia telah menolak sifat Allah ﷻ)
Hal ini karena ketika ia menyamakan Allah ﷻ dengan makhluk maka berarti ia telah menolak makna dan sifat yang benar yang seharusnya ditetapkan bagi Allah ﷻ. Karenanya, semua yang menyimpang dalam sifat Allah ﷻ pasti Mu’atthil, yaitu pasti menolak makna yang benar terhadap sifat Allah ﷻ .
Kaidah-kaidah Tentang Sifat-sifat Allah ﷻ
Kaidah Ketiga :
Manhaj Ahlusunah terhadap ayat-ayat sifat : (1) Menetapkan sifat yang ditetapkan dalil, (2) menolak sifat yang dinafikan dalil, dan (3) abstain terhadap sifat-sifat yang tidak ditetapkan dan juga tidak ditolak dalil hingga jelas maksudnya
Secara umum, berkaitan dengan ayat-ayat tentang sifat-sifat Allah ﷻ maka dalam hal ini ada tiga bentuk :
A. Sifat-sifat yang Ditetapkan Oleh Al-Qur’an dan As-Sunnah
Yaitu ditetapkan maknanya, tanpa diketahui kaifiahnya (bagaimananya), yaitu dengan tanpa ta’thil, tahrif, tamtsil, dan takyif (sebagaimana telah lalu penjelasannya di atas).
B. Sifat-sifat yang Dinafikan Oleh Al-Qur’an dan As-Sunnah
Sikap seorang muslim adalah menafikan apa yang dinafikan oleh dalil disertai dengan menetapkan lawannya secara sempurna. Karena tujuan nas yang datang dengan bentuk menafikan suatu sifat bukanlah sekedar untuk menafikannya, tetapi sekaligus mengandung kesempurnaan dari sifat lawannya.
Contoh:
لَا تَأْخُذُهُ سِنَةٌ وَلَا نَوْمٌ ۚ
” (Dia) tidak mengantuk dan tidak tidur.” (QS. Al-Baqarah: 255)
Allah ﷻ tidak mengantuk dan tidak tidur, maka tujuan Allah ﷻ dari menafikan sifat mengantuk dan tidur tersebut bukan semata hanya sekedar menafikan kedua sifat kekurangan tersebut, akan tetapi maksudnya adalah menjelaskan kesempurnaan Allah ﷻ yang memiliki sifat sempurna yang berlawanan terhadap kantuk dan tidur, yaitu Allah ﷻ Maha terjaga.
Misalnya juga firman Allah ﷻ,
وَمَا مَسَّنَا مِن لُّغُوبٍ
“Dan Kami sedikit pun tidak ditimpa keletihan.” (QS. Qaf: 38)
Allah ﷻ tidak letih, maka tujuan dari penafian sifat lelah adalah untuk menetapkan sifat lawannya yang sempurna, yaitu Allah ﷻ Maha kuat.
Demikian pula firman Allah ﷻ,
وَمَا رَبُّكَ بِظَلَّامٍ لِّلْعَبِيدِ
“Dan sekali-kali tidaklah Rabb-mu menzalimi hamba-hamba-Nya.” (QS. Fushilat: 46)
Allah ﷻ tidak zalim, maka tujuan dari penafian sifat zalim tersebut adalah untuk menetapkan sifat lawannya secara sempurna, yaitu Allah ﷻ Maha adil.
Penafian Sifat Mengandung Penetapan Sifat Sebaliknya
Mengapa penafian pada sifat-sifat Allah ﷻ pada ayat-ayat dan hadis-hadis tidaklah bermakna penafian murni semata tetapi sekaligus mengandung penetapan kesempurnaan? Hal itu karena beberapa pertimbangan berikut:
Pertama, karena kalimat penafian semata tidak mesti berkonsekuensi bahwa itu adalah pujian, yang dipuji adalah sesuatu yang ditetapkan. Seperti perkataan kita kepada orang lain, “Anda tidak zalim.” Perkataan ini bukanlah pujian, tetapi akan menjadi pujian jika yang dimaksud adalah menetapkan kebalikan dari zalim untuknya, yaitu ia adalah seorang yang adil.
Kedua, penafian dilakukan bisa jadi karena memang tidak layak apabila sifat tersebut ditetapkan untuknya (عَدَمُ الْقَابِلِيَّةِ). Seperti perkataan, “Dinding ini tidak zalim”, perkataan itu muncul karena memang dinding tidak bisa berlaku zalim, bahkan dia pun tidak bisa berlaku adil. Maka pernyataan “Dinding tidak zalim” bukanlah pujian kepada dinding.
Ketiga, penafian dilakukan bisa jadi karena memang dia tidak mampu untuk bersifat dengan sifat tersebut. Seperti perkataan seorang penyair:
قُبَيِّلَةُ لَا يَغْدِرُوْنَ بِذِمَّةٍ … وَلَا يَظْلِمُوْنَ النَّاسَ حَبَّةَ خَرْدَلٍ
Kabilah kecil tidak berkhianat sama sekali
Dan tidak menzalimi manusia sedikit pun
Tentu ini bukan merupakan pujian karena mereka memang tidak mampu berbuat zalim sebab mereka hanyalah kaum yang kecil. Berbeda dengan kalimat, “Penguasa tersebut tidak berbuat zalim”, maka ini adalah pujian karena pada dasarnya penguasa mampu berbuat zalim tetapi dia tidak melakukannya.
C. Sifat-sifat yang Didiamkan Oleh Dalil
Apabila terdapat sifat-sifat yang tidak datang dalam dalil atau dalil tidak menetapkannya dan tidak pula menafikannya, maka dilakukan beberapa langkah berikut:
● Tidak menetapkan sifat-sifat tersebut secara asalnya. Namun perlu adanya sikap menghadapi para penyelisih yang menggunakan lafaz-lafaz sifat-sifat tersebut.
● Ditanyakan apa maksudnya (istifsaar)
Jika maknanya sesuai dengan dalil maka maknanya ditetapkan, jika tidak sesuai maka tidak ditetapkan
Contoh:
Pertama : Sifat الْجِهَّةُ (arah) yang dinafikan oleh sebagian kelompok, sifat ini tidak ditetapkan dan tidak pula dinafikan oleh dalil, maka hendaknya Ahlusunah tidak menggunakan lafaz ini dalam menjelaskan sifat-sifat Allah ﷻ, akan tetapi Ahlusunah hendaknya menggunakan lafaz-lafaz yang syarí yang datang dalam dalil, seperti عَلَى atau فَوْقُ “di atas”. Namun karena lafaz الْجِهَّةُ digunakan oleh para penolak sifat maka terpaksa Ahlusunah menyikapi mereka dengan memperinci apa maksud dari lafaz الْجِهَّةُ tersebut?:
● Jika maksudnya adalah Allah ﷻ tidak ber-jihah (berarah) yaitu جَهَةٌ عَدَمِيَّةٌ hanya sekedar arah, bukan suatu ruang yang menaungi Allah ﷻ, bahwasanya Allah ﷻ di luar alam, jika maksudnya demikian maka kita katakan bahwa Allah ﷻ di jihah.
● Jika maksudnya jihah جِهَةٌ وُجُوْدِيَّةٌ yaitu arah yang di situ ada ruangan atau tempat yang meliputi Allah ﷻ maka kita katakan Allah ﷻ tidak di jihah.
Kedua : Sifat الْجِسْمُ (al-Jism) yang dinafikan oleh sebagian kelompok, sifat ini tidak ditetapkan dan tidak pula dinafikan oleh dalil, maka hendaknya diperinci apa maksudnya ?:
● Jika maksudnya adalah tubuh yang berdaging maka ditolak.
● Jika maksudnya adalah Dzat maka diterima karena Allah ﷻ ber-Dzat.
Kaidah-kaidah Tentang Sifat-sifat Allah ﷻ
Kaidah Keempat
بَابُ الإِخْبَارِ أَوْسَعُ مِنْ بَابِ الصِّفَاتِ، وَبَابُ الصِّفَاتِ أَوْسَعُ مِنْ بَابِ الأَسْمَاءِ
Pembahasan tentang ikhbar (pengabaran) lebih luas dari pada pembahasan tentang sifat Allah ﷻ dan pembahasan tentang sifat Allah ﷻ lebih luas dari pada pembahasan tentang nama Allah ﷻ
Setiap nama mengandung sifat, tetapi tidak semua sifat bisa dijadikan nama, karena ada sifat-sifat Allah ﷻ yang tidak bisa menjadi nama. Demikian pula ikhbar (pengabaran) terhadap Allah ﷻ baik yang ada dalilnya maupun tidak, selama tidak melanggar syariat. Sehingga kesimpulannya, ikhbar (pengabaran) lebih luas karena tidak harus berasal dari dalil sedangkan nama dan sifat lebih sempit karena harus berasal dari dalil. Dan ikhbar tentang Allah ﷻ tidak mesti tentang nama Allah ﷻ dan juga tidak mesti tentang sifat Allah ﷻ.
Telah berlalu contoh-contoh dari nama-nama dan sifat-sifat Allah ﷻ, adapun di antara contoh pengabaran yaitu seperti perkataan seseorang ketika berdoa “Ya Mufahhima Sulaiman” (Wahai Yang memahamkan Nabi Sulaiman!), atau dalam ayat,
قُلْ أَيُّ شَيْءٍ أَكْبَرُ شَهَادَةً ۖ قُلِ اللَّهُ ۖ
“Katakanlah, ‘Siapakah yang lebih kuat persaksiannya?’ Katakanlah: ‘Allah ﷻ’.” (QS. Al-An’am: 19)
Allah ﷻ menyebut diri-Nya dengan شَيْءٍ yang makna asalnya adalah “sesuatu”.
Adapun jika tidak benar dalam pengabaran atau bertentangan dengan dalil maka tidak boleh mengabarkan Allah ﷻ dengan kabar tersebut. Contoh pengabaran yang salah seperti perkataan “Allah ﷻ bermesraan dengan fulan”, karena kata bermesraan mengandung makna konotasi yang buruk.
Kaidah Kelima
الصِّفَاتُ -مِنْ حَيْثُ الثُّبُوْتُ وَالنَّفْيُ- تَنْقَسِمُ إِلَى صِفَاتٍ مَنْفِيَّةٍ وَصِفَاتٍ ثُبُوْتِيَّةٍ
وَالصِّفَاتُ الثُّبُوْتِيَّةُ مِنْ حَيْثُ تَعَلُّقُهَا بِمَشِيْئَةِ اللهِ تَنْقَسِمُ إِلَى صِفَاتٍ ذَاتِيَّةٍ وَصِفَاتٍ فِعْلِيَّةٍ وَصِفَاتٍ ذَاتِيَّةٍ فِعْلِيَّةٍ
Sifat-sifat Allah ﷻ terbagi menjadi sifat manfiyyah dan sifat tsubutiyyah
Dan sifat-sifat tsubutiyah -ditinjau dari keterkaitannya dengan kehendak Allah ﷻ– terbagi menjadi (1) sifat dzatiyyah, (2) sifat fi’liyyah, dan (3) sifat dzatiyyah fi’liyyah.
● Sifat-sifat manfiyyah yaitu sifat yang dinafikan dari Allah ﷻ seperti sifat mengantuk, tidur, zalim, dan lain-lain
● Sifat-sifat tsubutiyyah yaitu sifat yang ditetapkan untuk Allah ﷻ.
Sifat ini terbagi menjadi dua:
▪︎ Sifat dzatiyyah, yaitu sifat-sifat yang tidak berkaitan dengan kehendak-Nya artinya Allah ﷻ senantiasa dan selamanya bersifat dengan sifat tersebut.
Contoh : tangan, wajah, dua mata, al-‘uluww (ketinggian), dan lain-lain.
▪︎ Sifat fi’liyyah, yaitu sifat-sifat yang berkaitan dengan kehendak-Nya, jika Allah ﷻ berkehendak maka Allah ﷻ lakukan dan jika Allah ﷻ tidak berkehendak maka Allah ﷻ tidak lakukan.
Contoh : al-Gadhab (murka), rahmat, nuzul (turun), istiwa’, ad-Dhahik (tertawa), dan lain-lain.
● Sifat dzatiyyah fi’liyyah, yaitu sifat-sifat yang tidak berkaitan dengan kehendak-Nya tetapi sekaligus bisa berkaitan dengan kehendak-Nya.
Contoh : sifat al-Kalam (berbicara), jika ditinjau dari asalnya maka al-Kalam itu qadim (sejak azali) sehingga saat itu sifat al-Kalam menjadi sifat dzatiyyah, namun jika ditinjau dari satuan pembicaraannya maka al-Kalam adalah sifat fi’liyyah, kapan Allah ﷻ ingin berbicara maka Allah ﷻ akan berbicara. Demikian juga sifat as-Sama’ (mendengar) dan al-Bashar (melihat) ([8]).
Kaidah Keenam
القَوْلُ فِي الصِّفَاتِ فَرْعٌ عَنِ الْقَوْلِ فِي الذَّاتِ
Pembahasan tentang sifat merupakan turunan dari pembahasan dzat
Sebagaimana kita tidak mengetahui kaifiah Dzat Allah ﷻ maka demikian pula kita tidak akan mengetahui kaifiah sifat. Kaifiah sifat tangan Allah ﷻ tidak mungkin diketahui karena Dzat Allah ﷻ tidak diketahui, kaifiah sifat istiwa’ Allah ﷻ tidak mungkin diketahui karena Dzat Allah ﷻ tidak diketahui. (sebagaimana telah disinggung pada kaidah kedua)
Kaidah Ketujuh
الْقَوْلُ فِي بَعْضِ الصِّفَاتِ كَالْقَوْلِ فِي الْبَعْضِ الآخَرِ
Pembahasan tentang sebagian sifat sama dengan pembahasan tentang sifat lainnya
Kaidah ini untuk membantah sebagian ahli bid’ah yang menetapkan sebagian sifat namun menolak sebagiannya.
Contoh: mereka menolak sifat mahabbah (cinta) karena sifat mahabbah adalah sifat manusia, namun mereka menetapkan sifat iradah (berkehendak).
Bantahannya : Manusia juga bisa bersifat dengan iradah, tetapi sebagaimana iradah manusia tidak sama dengan iradah Allah ﷻ, maka demikian pula mahabbah manusia berbeda dengan mahabbah Allah ﷻ.
—–
Footnote:
([8]) Catatan : Namun bedanya jika sifat kalam, maka bisa kita katakan Allah ﷻ jika berkehendak maka Allah ﷻ berbicara, dan jika tidak berkehendak maka Allah ﷻ tidak berbicara. Seperti ketika di zaman Azali, ketika Allah ﷻ belum menciptakan makhluk Allah ﷻ tidak berbicara dengan siapa pun. Setelah menciptakan makhluk maka Allah ﷻ berbicara dengan siapa saja dari makhluk-Nya yang Allah ﷻ kehendaki, apakah berbicara dengan malaikat, atau para nabi dan rasul. Begitu juga, jika Allah ﷻ tidak berkehendak maka Allah ﷻ tidak berbicara dengan makhluk-Nya
Adapun sifat mendengar dan melihat maka Allah ﷻ senantiasa selalu melihat dan mendengar jika ada yang didengar atau dilihat. Maka tidak dikatakan jika Allah ﷻ berkehendak Allah ﷻ melihat, jika tidak maka Allah ﷻ tidak melihat, atau jika Allah ﷻ berkehendak Allah ﷻ mendengar dan jika Allah ﷻ berkehendak maka Allah ﷻ tidak mendengar. Akan tetapi hawadits (sesuatu yang baru) berkaitan dengan objek yang Allah ﷻ dengar dan yang Allah ﷻ lihat, yang objek tersebut berkaitan dengan pendengaran dan penglihatan Allah ﷻ. Maka dari sini terjadi hawadits pula pada pendengaran dan penglihatan Allah ﷻ ditinjau dari berubahnya apa yang didengar dan dilihat Allah ﷻ.
7 Amalan Ini Tidak Boleh Kamu Lakukan Ketika Bulan Muharram.
1. Membatalkan Pernikahan Karena Meyakini Bahwa Bulan Muharram (Suro) Sebagai Bulan Keramat.
Keyakinan semacam ini masih bercokol pada sebagian masyarakat. Atas dasar keyakinan ala jahiliyyah inilah banyak di kalangan masyarakat yang enggan menikahkan putrinya pada bulan ini karena alasan akan membawa sial dan kegagalan dalam berumah tangga (Syarh Masail al-Jahiliyyah, DR.Sholih al-Fauzan hal. 302).
2. Sengaja Menghidupkan Malam hari ‘Asyuro Dengan Dzikir Dan Doa Khusus, Padahal Enggak Ada Ajarannya Dari Nabi.
Syaikh Bakr Abu Zaid berkata: “Termasuk bentuk bid’ah dzikir dan doa adalah menghidupkan malam hari ‘Asyuro dengan dzikir dan ibadah. Mengkhususkan do’a pada malam hari ini dengan nama do’a hari Asyuro, yang konon katanya barangsiapa yang membaca doa ini tidak akan mati di tahun tersebut. Atau membaca surat al-Qur’an yang disebutkan nama Musa pada shalat subuh hari ‘Asyuro (Bida’ al-Qurro Bakr Abu Zaid hal. 9).
3. Mengkhususkan Ibadah Tertentu Saat Peringatan Tahun Baru Hijriyyah.
Tidak ragu lagi perkara ini termasuk perkara baru yang diada-adakan dengan sengaja. Tidak ada keterangan dalam as-Sunnah anjuran mengadakan peringatan tahun baru hijriyyah. Perkara ini termasuk bid’ah yang jelek. (Bida’ wa Akhtho’ hal. 218. Lihat secara luas masalah ini dalam risalah Al- Ihtifal bi Ra’si Sanah wa Musyabahati Ashabil Jahim oleh Abdullah bin Abdul Hamid al-Atsari)
4. Mengkhususkan Hanya Puasa Awal (satu hari) Di Tahun Baru Hijriyyah, Padahal Enggak Ada Dalil Yang Memerintahkannya.
Perkara ini termasuk bid’ah yang mungkar. Demikian pula puasa akhir tahun, termasuk bid’ah. Hanya dibuat-buat yang tidak berpijak pada dalil sama sekali!.
Barangkali mereka berdalil dengan sebuah hadits yang berbunyi yang artinya; Barangsiapa yang puasa pada akhir hari Dzulhijjah dan puasa awal tahun pada bulan Muharram, maka dia telah menutup akhir tahun dengan puasa dan membuka awal tahunnya dengan puasa.
Semoga Allah manghapuskan dosanya selama lima puluh tahun!!”. Hadits ini adalah hadits yang palsu menurut timbangan para ahli hadits.
(al-A’lai al-Mashnu’ah, as-Suyuti 2/108, Tanziihus Syari’ah, Ibnu Arroq 2/148, al-Fawaid al-Majmu’ah, as-Syaukani no.280. Kritik Hadits-Hadits Dho’if Populer, Abu Ubaidah Yusuf as-Sidawi hal. 114)
5. Menghidupkan Malam Pertama Secara Khusus Di Bulan Muharram, Padahal Enggak Ada Amalan Khusus Malam Pertama Bulan Muharram
Syaikh Abu Syamah berkata: “Tidak ada keutamaan sama sekali pada malam pertama bulan Muharram. Aku sudah meneliti atsar-atsar yang shahih maupun yang lemah dalam masalah ini. Bahkan dalam hadits-hadits yang palsu juga tidak disebutkan!!, aku khawatir -aku berlindung kepada Allah- bahwa perkara ini hanya muncul dari seorang pendusta yang membuat-buat hadits!!. (al-Ba’its Ala Inkaril Bida’ wal Hawadits hal. 239)
6. Mengerjakan Shalat ‘Asyuro, Lagi-Lagi Karena Haditsnya Palsu!
As-Syuqoiry berkata: “Hadits shalat ‘Asyuro adalah hadits palsu. Para perowinya majhul, sebagaimana disebutkan oleh as-Suyuti dalam al-Aala’I al-Mashnu’ah. Tidak boleh meriwayatkan hadits ini, lebih-lebih sampai mengamalkannya!!”. (as-Sunan wal Mubtada’at hal.154)
7. Mengerjakan Berbagai Ritual Dan Adat istiadat Di Tanah Air Yang Berujung Kesyirikan. Bikin Amalan Hangus!
Di tanah air, bila tiba hari ‘Asyuro kita akan melihat berbagai adat dan ritual yang beraneka ragam dalam rangka menyambut hari istimewa ini. Apabila kita lihat secara kacamata syar’I, adat dan ritual ini tidak lepas dari kesyirikan! Seperti meminta berkah dan ajian khusus dari benda-benda yang dianggap sakti dan keramat, bahkan yang lebih mengenaskan sampai kotoran sapi-pun tidak luput untuk dijadikan alat pencari berkah!!.
Referensi: https://muslim.or.id/23085-11-amalan-bidah-di-bulan-muharram.html
🌐 https://bbg-alilmu.com/archives/58696
🌴🌴🌴
● Rosululloh -shollallohu alaihi wasallam-:
“Siapa yang menunjukkan kebaikan, maka baginya pahala orang yang melakukannya..” [HR. Muslim]
🌴🌴🌴
● Ibnul Mubarok -rohimahulloh-:
“Aku tidak tahu derajat setelah kenabian yang lebih mulia daripada menyebarkan ilmu (agama)..” [Tahdzibul Kamal 16/20]
🌴🌴🌴
● Ibnul jauzi -rohimahulloh-:
“Siapa yang tidak ingin terputus amalnya setelah matinya, maka sebarkanlah ilmu (agama)..” [At-Tadzkiroh 55].
🌴🌴🌴
● Ibnul Qoyyim -rohimahulloh-:
“Mendermakan ilmu (agama) dan memberikannya kepada orang lain, termasuk diantara kedermawanan yang paling tinggi tingkatannya.
Dermawan dengan ilmu (agama) lebih afdhol daripada dermawan dengan harta, karena ilmu (agama) lebih mulia daripada harta..” [Madarijus Salikin 2/281]
🌴🌴🌴
● Syeikh Binbaz -rohimahulloh-:
“Harusnya engkau berusaha untuk menyebarkan ilmu dengan seluruh semangat dan kekuatanmu. Jangan sampai para pengikut kebatilan lebih giat dalam kebatilannya..” [Majmu’ul Fatawa 6/67].
🌴🌴🌴
● “Yang disyariatkan bagi seorang muslim ketika mendengar faidah (ilmu) adalah menyampaikannya kepada orang lain.
Begitu pula seorang muslimah, hendaknya menyampaikan ilmu yang dia dengar kepada yang lainnya. Sebagaimana sabda Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam ‘sampaikanlah dariku meski hanya satu ayat’, dan dahulu saat berkhutbah, Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam biasa mengatakan: ‘hendaknya yang hadir menyampaikan kepada yang ghoib (tidak hadir)’..” [Majmu’ul Fatawa 4/54].
🌴🌴🌴
● Syeikh ‘Utsaimin rohimahulloh:
“Aku pernah diwasiati oleh seorang awam, dia mengatakan kepadaku: ‘wahai anakku, berusahalah untuk menyebarkan ilmu, walaupun di majlis-majlis umum, seperti: kopdaran, atau makan bersama, atau yang semisalnya..
Jangan tinggalkan -satu majlis pun- kecuali engkau telah menghadiahkan kepada orang-orang duduk di situ, meski hanya satu masalah..
Orang itu telah mewasiatkan hal ini kepadaku, dan aku juga mewasiatkan hal yang sama kepada kalian, karena itu wasiat yang bermanfaat..”
[Atta’liq ala shohih muslim, hadits no: 1147, 1152,1154].
🌴🌴🌴
● Syeikh Shalih Alu Syeikh -hafizhohulloh-:
“Perjuangan (jihad) yang paling besar untuk melawan musuh Allah jalla wa’ala dan setan adalah menyebarkan ilmu, maka sebarkanlah ilmu di semua tempat, sesuai kemampuanmu..” [Al-Washoyal Jaliyyah: 46]
🌴🌴🌴
Maka hendaklah kita bersemangat dalam menyebarkan ilmu agama, terutama ilmu tentang Allah dan ilmu tentang Rosul-Nya.
Karena ilmu yang paling mulia adalah ilmu tentang Allah (tauhid), karena ia berhubungan dengan Allah ta’ala, dzat yang paling mulia.. Kemudian ilmu tentang Nabi dan sunnahnya, karena beliau adalah makhluk yang paling mulia, dan sunnahnya merupakan ajaran yqng paling tinggi derajatnya.
🌴🌴🌴
Dan ingatlah bahwa berbagi ilmu agama, tidak harus dengan membuat status sendiri, tapi bisa juga dengan menyebarkan status yang ditulis orang lain.
Semoga bermanfaat.
Awal Mula Munculnya Bid’ah Dalam Islam
Sesungguhnya Nabi Muhammad ﷺ telah mengajarkan akidah yang murni kepada para sahabat hingga beliau wafat. Kemudian para khulafaur rasyidin dan para sahabat berusaha mempertahankan akidah tersebut, hingga di akhir-akhir masa khulafaur rasyidin mulailah tumbuh bibit-bibit bid’ah. Hal ini telah diisyaratkan oleh Nabi Muhammad ﷺ dalam sabdanya,
أُوْصِيْكُمْ بِتَقْوَى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ، وَإِنْ تَأَمَّرَ عَلَيْكُمْ عَبْدٌ، فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ فَسَيَرَى اخْتِلاَفًا كَثِيْرًا، فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ اْلمَهْدِيِّيْنَ مِنْ بَعْدِي، عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ، وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُوْرِ فَإِنَّ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
“Aku wasiatkan kepada kalian untuk bertakwa kepada Allah ﷻ Azza wa Jalla, dan untuk mendengar serta taat (kepada pimpinan) meskipun yang memimpin kalian adalah seorang budak. Sesungguhnya, barangsiapa yang berumur panjang di antara kalian (para sahabat), niscaya akan melihat perselisihan yang banyak. Maka wajib bagi kalian berpegang teguh pada sunahku dan sunnah para Khulafa’ur Rasyidun –orang-orang yang mendapat petunjuk- sepeninggalku. Gigitlah sunnah itu dengan gigi geraham kalian. Dan hati-hatilah kalian, jangan sekali-kali mengada-adakan perkara-perkara baru dalam agama, karena sesungguhnya setiap bid’ah adalah sesat.” ([3])
Bibit-bibit bid’ah tersebut mulai tumbuh sejak terbunuhnya khalifah Utsman bin ‘Affan pada tahun 35H, ketika Abdullah bin Saba’ memprovokasi masa untuk membunuh Útsman bin Áffan radhiallahu ‘anhu dan akhirnya beliau dikepung oleh ribuan masa, lalu beliau pun terbunuh di rumah beliau dalam kondisi sedang membaca Al-Qur’an. Kemudian di masa kekhilafahan ‘Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu mulailah muncul dua jenis bid’ah yaitu bid’ah khawarij yang memerangi ‘Ali dan bid’ah Rafidhah yang berlebihan terhadap ‘Ali.
Setelah ‘Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu wafat lalu berlalu masa, di akhir-akhir masa sahabat shighar junior (zaman sahabat berakhir sekitar tahun 110 H ([4])) mulailah muncul bid’ah Qadariyah yang dipelopori oleh Ma’bad Al-Juhani, sebagaimana yang disebutkan di awal kitab Shahih Muslim.
Imam Muslim rahimahullah meriwayatkan dari Yahya bin Ya’mar, beliau mengatakan,
كَانَ أَوَّلَ مَنْ قَالَ فِي الْقَدَرِ بِالْبَصْرَةِ مَعْبَدٌ الْجُهَنِيُّ، فَانْطَلَقْتُ أَنَا وَحُمَيْدُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ الْحِمْيَرِيُّ حَاجَّيْنِ – أَوْ مُعْتَمِرَيْنِ – فَقُلْنَا: لَوْ لَقِينَا أَحَدًا مَنْ أَصْحَابِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَسَأَلْنَاهُ عَمَّا يَقُولُ هَؤُلَاءِ فِي الْقَدَرِ، فَوُفِّقَ لَنَا عَبْدُ اللهِ بْنُ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ دَاخِلًا الْمَسْجِدَ، فَاكْتَنَفْتُهُ أَنَا وَصَاحِبِي أَحَدُنَا عَنْ يَمِينِهِ، وَالْآخَرُ عَنْ شِمَالِهِ، فَظَنَنْتُ أَنَّ صَاحِبِي سَيَكِلُ الْكَلَامَ إِلَيَّ، فَقُلْتُ: أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ إِنَّهُ قَدْ ظَهَرَ قِبَلَنَا نَاسٌ يَقْرَءُونَ الْقُرْآنَ، وَيَتَقَفَّرُونَ الْعِلْمَ، وَذَكَرَ مِنْ شَأْنِهِمْ، وَأَنَّهُمْ يَزْعُمُونَ أَنْ لَا قَدَرَ، وَأَنَّ الْأَمْرَ أُنُفٌ، قَالَ: «فَإِذَا لَقِيتَ أُولَئِكَ فَأَخْبِرْهُمْ أَنِّي بَرِيءٌ مِنْهُمْ، وَأَنَّهُمْ بُرَآءُ مِنِّي»، وَالَّذِي يَحْلِفُ بِهِ عَبْدُ اللهِ بْنُ عُمَرَ «لَوْ أَنَّ لِأَحَدِهِمْ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا، فَأَنْفَقَهُ مَا قَبِلَ اللهُ مِنْهُ حَتَّى يُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ»
“Orang yang pertama kali berbicara masalah takdir di Bashrah adalah Ma’bad Al Juhani. Aku dan Humaid bin ‘Abdirrahman kemudian pergi berhaji –atau ‘umrah- dan kami mengatakan, “Seandainya kita bertemu salah seorang sahabat Rasulullah ﷺ kita akan mengadukan pendapat mereka tentang takdir tersebut”
Kami pun bertemu dengan Ibnu ‘Umar radhiallahu ‘anhuma yang sedang memasuki masjid. Lalu kami menggandeng beliau, satu dari sisi kanan dan satu dari sisi kiri. Aku menyangka sahabatku menyerahkan pembicaraan kepadaku sehingga aku pun berkata kepada Ibnu ‘Umar, “Wahai Abu ‘Abdirrahman (panggilan Ibnu ‘Umar), sungguh di daerah kami ada sekelompok orang yang berpandangan takdir itu tidak ada, dan segala sesuatu itu baru ada ketika terjadinya (tidak tertulis di catatan takdir dan tidak pula diketahui oleh Allah ﷻ sebelumnya).
Maka Ibnu ‘Umar berkomentar, “Kalau kamu bertemu dengan mereka, beritahukan mereka bahwa aku berlepas diri dari mereka dan mereka berlepas diri dariku! Demi Dzat yang Ibnu ‘Umar bersumpah dengan-Nya, seandainya mereka memiliki emas sebanyak gunung Uhud lantas menginfakkannya, niscaya Allah ﷻ tidak akan menerima infak mereka tersebut sampai mereka mau beriman kepada takdir.” ([5])
Pemahaman Qadariyah tersebut telah dibantah oleh para sahabat junior seperti Ibnu ‘Umar sendiri, Ibnu ‘Abbas, dan selainnya. Namun di kurun waktu ini belum muncul bid’ah tentang tauhid al-Asma’ wa ash-Shifat.
Lalu di zaman Tabiin yaitu pada zaman Hasan Al-Bashri (zaman tabi’in berakhir sekitar tahun 181 H ([6])), mulailah muncul bid’ah berikutnya yaitu bid’ah Muktazilah yang dipelopori oleh Washil bin ‘Atha yang merupakan murid Hasan Al-Bashri sendiri. Di antara keyakinan Muktazilah yaitu pelaku dosa besar di dunia statusnya fi manzilah baina manzilatain (tidak kafir dan juga tidak mukmin) namun di akhirat statusnya tetap kekal di neraka. Pemahaman inilah yang dibawa oleh Washil bin ‘Atha sehingga ia keluar (iítzal) dari majelis Hasan Al-Bashri karena bertentangan dengan apa yang diajarkan oleh Hasan Al-Bashri yaitu status pelaku dosa besar itu imannya kurang tetapi tidak kafir dan di akhirat kelak di bawah kehendak Allah ﷻ, apakah akan diampuni oleh Allah ﷻ atau diadzab. Inilah Akidah Ahlusunah, dan inilah yang benar sebagaimana firman Allah ﷻ,
إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدِ افْتَرَى إِثْمًا عَظِيمًا
“Sesungguhnya Allah ﷻ tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah ﷻ, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.” (QS. An-Nisa : 48)
Karena Washil bin Átha keluar (i’tizal/menyempal) dari majelis Al-Hasan maka ia dan para pengikutnya dikenal dengan Muktazilah (golongan yang menyempal).
Washil bin Átha kemudian diikuti oleh seorang yang bernama ‘Amr bin ‘Ubaid. ‘Amr bin ‘Ubaid adalah seorang perawi hadis yang ahli ibadah dan zuhud, sehingga pemahaman ini mulai laris karena manusia tertipu dengan ‘Amr. Namun bid’ah Muktazilah ini masih belum menyentuh masalah tauhid al-Asma’ wa ash-Shifat, tetapi masih banyak berputar di permasalahan status pelaku dosa besar dan bercampur dengan bid’ah Qadariyah.
——
Footnote:
([3]) HR. Ahmad No. 17142, Abu Dawud No. 4607, At-Tirmidzi No. 2676, dan Ibnu Majah No. 42 dan disahihkan oleh Al-Albani dan Al-Arnauth.
([4]) Yaitu dengan wafatnya sahabat Nabi yang terakhir yaitu Abu at-Thufail Áamir bin Waatsilah pada tahun 110 H.
([5]) HR. Muslim No. 8.
([6]) Yaitu dengan wafatnya tabiín yang terakhir yaitu Kholaf bin Kholiifah al-Kufiy al-Muámmar pada tahun 181 H.
* PERSAMAAN ORANG MUSYRIK DULU DAN SEKARANG *
•
Diantara musibah besar yang menimpa kaum muslimin dewasa ini adalah acuh terhadap urusan agama dan sibuk dengan urusan dunia. Oleh karena itu banyak diantara mereka yang terjerumus ke dalam hal-hal yang diharamkan Allah Ta’ala karena sedikitnya pemahaman tentang permasalahan-permasalahan agama. Dan jurang terdalam yang mereka masuki yaitu lembah hitam kesyirikan.
Mereka (para penziarah kubur) berkata: “Orang-orang musyrik di zaman jahiliah menyembah berhala-hala. Adapun kami tidak menyembah mereka…!!. Kami hanya menjadikan mereka (Wali, Habib, Gus, Kyai dan Guru) sebagai PELANTARA do’a kami kepada Allah Ta’ala, agar Dia mengabulkan keinginan kami. Dan ibadah itu berbeda dengan do’a…!!”.
Kita jawab : “Sesungguhnya meminta bantuan dan berkah kepada orang yang sudah meninggal, pada hakikatnya adalah sama dengan berdo’a, sedangkan do’a itu sendiri adalah ibadah yang agung. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
الدُّعَاءُ هُوَ الْعِبَادَةُ
“Doa adalah Ibadah”.
(HR. Tirmidzi)
Do’a adalah inti dari ibadah. Semua jenis ibadah yang kita lakukan pada hakikatnya adalah do’a. Dan karena do’a adalah ibadah, maka sudah seharusnya dilakukan dengan niat yang ikhlas dan sesuai dengan petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Tatkala orang-orang musyrik dahulu ditanya tentang sebab, kenapa mereka bertawassul (dengan perantara’an) berhala-berhala dan menyeru mereka, orang-orang musyrik itu menjawab seperti yang diabadikan Allah Ta’ala di dalam firman-Nya :
مَا نَعْبُدُهُمْ إِلا لِيُقَرِّبُونَا إِلَى اللَّهِ زُلْفَى
“Kami tidak menyembah mereka (berhala) melainkan supaya mereka (berhala) mendekatkan kami kepada Allah sedekat-dekatnya”.
(QS.Az-Zumar: 3).
Artinya : Mereka (Berhala/penghuni kubur) itu adalah perantara antara mereka dengan Allah Ta’ala agar keinginannya tercapai.
Jika demikian, tidak jauh berbeda dengan orang di zaman ini yang mengaku menyembah Allah Ta’ala, tapi disamping itu mereka juga mengagungkan dan memuja kuburan orang shalih. Mereka berkeyakinan itu semua adalah “perantara” (wasilah) kepada Allah Ta’ala.
Pertanya’annya adalah :
Apakah beda tujuan dan maksud orang-orang musyrik zaman dahulu dengan para pengagung dan pemuja kuburan pada sa’at ini…..???
Apakah kita lebih beriman dari mereka…..???
Ataukah kita sama dengan mereka…..???
Atau bahkan orang musyrik dulu lebih baik dari kita…..???
Saudara/i ku, janganlah engkau bodoh terhadap agamamu, tidak ada peringatan atau dakwah yang paling utama selain mengajak manusia untuk mentauhidkan Allah Ta’ala dan menjauhkan manusia dari kesyirikan.
Semoga yang sedikit ini mudah dipahami dan bermanfa’at untuk kita semua
Barakallahu fiikumhttps://www.facebook.com/100077295139378/posts/pfbid02pnQydsB1cpaWFueMsCd3jU2DbxUFr79vwQ6sWBd6MRH3HAwtWux9y4E3bi59ZaAzl/
NIKMAT YANG PALING BESAR 🍃🌿
Seseorang mengatakan,
إن أعظم نعمة أنعمها الله عليك: الهداية إلى دين الإسلام.
Sesungguhnya nikmat yang paling besar yang Allah anugerahkan atasmu adalah nikmat hidayah kepada agama islam.
وهو الدين الذي رضيه الله لجميع العالمين؛ ومن ابتغى غيره كان من الخاسرين.
Adalah agama yang Allah meridhoinya untuk seluruh alam. Dan siapa yang mencari selainnya termasuk orang-orang yang rugi.
ووفقك الله لعبادته وحده لا شريك له؛ فلا تركع ولا تسجد إلا إليه سبحانه.
Semoga Allah memberi taufik kepadamu untuk beribadah kepadanya semata, tidak menyekutukannya. Maka tidak boleh kamu rukuk dan sujud kecuali (kepada Allah) Subhanahu.
Allah Ta’ala berfirman,
«وَيَعْبُدُونَ مِن دُونِ ٱللَّهِ مَا لَا يَضُرُّهُمْ وَلَا يَنفَعُهُمْ وَيَقُولُونَ هَٰٓؤُلَآءِ شُفَعَٰٓؤُنَا عِندَ ٱللَّهِ ۚ قُلْ أَتُنَبِّـُٔونَ ٱللَّهَ بِمَا لَا يَعْلَمُ فِى ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَلَا فِى ٱلْأَرْضِ ۚ سُبْحَٰنَهُۥ وَتَعَٰلَىٰ عَمَّا يُشْرِكُونَ».
Dan mereka menyembah selain dari Allah apa yang tidak dapat mendatangkan kemudaratan kepada mereka dan tidak (pula) kemanfaatan, dan mereka berkata, “Mereka itu adalah pemberi syafaat kepada kami di sisi Allah.” Katakanlah, “Apakah kalian mengabarkan kepada Allah apa yang tidak diketahui-Nya baik di langit dan tidak (pula) di bumi?” Mahasuci Allah dan Mahatinggi dari apa yang mereka mempersekutukan (itu). Surah Yunus 18.
اللهم لك الحمد على نعمة الإسلام والسنة والعقل الصحيح والفطرة السليمة
Ya Allah, bagiMu segala puji atas nikmat islam, sunnah, akal sehat dan fitrah yang salimah.
DEMOKRASI HANYALAH UNDANG-UNDANG CIPTAAN MANUSIA YANG AMAT LEMAH.
Demokrasi adalah sistem besar. Walaupun besar ia berdiri diatas suatu asas dan memiliki ciri-ciri khusus.
Istilah atau perkataan demokrasi tidak disebut dalam alquran. Maka hukum demokrasi tidak disebut secara lansung dlm alquran. Maka menilai Demokrasi menjadi rumit krn perkataan itu tidak ada dalam alquran. Bagaimana hukum demokrasi ditentukan?
Pertama takrif demokrasi. Dari takrif demokrasi muncul ciri-ciri khusus ajaran demokrasi itu. Apakah hukum islam terhadap cici khusus itu.
Dasar utama Demokrasi adalah hukum milik manusia bukan milik Allah. Dari dasar ini terbitlah ajaran berikut:-
Demokrasi memiliki beberapa ajaran, di antaranya:
( a) Sumber hukum bukan Allah Subhaanahu Wa Ta’ala, akan tetapi rakyat
(b) Hukum yang dipakai bukanlah hukum Allah, akan tetapi hukum buatan.
(c). Memberikan kebebasan berkeyakinan dan mengeluarkan fikiran dan pendapat
(d) Kebenaran adalah suara terbanyak
Tuhannya banyak dan beraneka ragam.
(e) Persamaan hak
Apakah hukum islam terhadap ciri-ciri khusus demokrasi tersebut.
LARANGAN BERIBADAH KEPADA ALLAH DISISI KUBURAN ORANG-ORANG SOLEH
Diriwayatkan dalam shoheh [Bukhori dan Muslim], dari Aisyah ra. bahwa Ummu Salamah ra. bercerita kepada Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam tentang gereja yang ia lihat di negeri Habasyah (Ethiopia), yang didalamnya terdapat rupaka-rupaka (gambar-gambar), maka Rasulullah bersabda :
“أولئك إذا مات فيهم الرجل الصالح، أو العبد الصالح بنوا على قبره مسجدا، وصوروا فيه تلك الصور، أولئك شرار الخلق عند الله “.
”Mereka itu, apabila ada orang yang sholeh atau hamba yang sholeh meninggal, mereka membangun diatas kuburannya sebuah tempat ibadah, dan mereka membuat didalamnya rupaka-rupaka, dan mereka sejelek-jelek makhluk disisi Allah”.
Mereka dihukumi beliau sebagai sejelek-jelek makhluk karena mereka melakukan dua fitnah sekaligus, yaitu fitnah memuja kuburan dengan membangun tempat ibadah diatasnya dan fitnah membuat rupaka rupaka ( patung-patung ).
Dalam riwayat Imam Bukhori dan Muslim, Aisyah juga berkata : ketika Rasulullah akan diambil nyawanya, beliaupun segera menutup mukanya dengan kain, dan ketika nafasnya terasa sesak maka dibukanya kembali kain itu. Ketika beliau dalam keadaan demikian itulah beliau bersabda :
“لعنة الله على اليهود والنصارى، اتخذوا قبور أنبيائهم مساجد”
“Laknat Allah ditimpakan kepada orang-orang yahudi dan Nasrani, yang telah menjadikan kuburan para Nabi mereka sebagai tempat peribadatan”.
Beliau mengingatkan umatnya agar menjauhi perbuatan mereka, dan jika bukan karena hal itu, Maka pasti kuburan beliau akan ditampakkan, hanya saja beliau hawatir kalau kuburannya nanti dijadikan tempat beribadah.
Imam Muslim meriwayatkan dari Jundub bin Abdullah, dimana ia pernah berkata : “Aku pernah mendengar Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda lima hari sebelum beliau meninggal dunia :
“إني أبرأ إلى الله أن يكون لي منكم خليلا، فإن الله قد اتخذني خليلا كما اتخذ إبراهيم خليلا، ولو كنت متخذا من أمتي خليلا لاتخذت أبا بكر خليلا، ألا وإن من كان قبلكم كانوا يتخذون قبور أنبيائهم مساجد، ألا فلا تتخذوا القبور مساجد فإني أنهاكم عن ذلك”
“Sungguh, Aku menyatakan setia kepada Allah dengan menolak bahwa aku mempunyai seorang khalil (kekasih mulia) dari antara kalian, karena sesungguhnya Allah Subhanahu wata’ala telah menjadikan aku sebagai kekasihNya, sebagaimana Ia telah menjadikan Ibrahim sebagai kekasihNya, seandainya aku menjadikan seorang kekasih dari umatku, maka aku akan jadikan Abu Bakar sebagai kekasihku. Dan ketahuilah, bahwa sesungguhnya umat-umat sebelum kalian telah menjadikan kuburan para Nabi mereka sebagai tempat ibadah, dan ingatlah, janganlah kalian menjadikan kuburan sebagai tempat beribadah, karena aku benar-benar melarang kalian dari perbuatan itu”.
Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam di akhir hayatnya -sebagaimana dalam hadits Jundub- telah melarang umatnya untuk tidak menjadikan kuburan sebagai tempat ibadah. Kemudian ketika dalam keadaan hendak diambil nyawanya –sebagaimana dalam hadits Aisyah- beliau melaknat orang yang melakukan perbuatan itu, dan sholat di sisinya termasuk pula dalam pengertian menjadikan kuburan sebagai tempat ibadah, walaupun tidak dijadikan bangunan masjid, dan inilah maksud dari kata-kata Aisyah ra.:“… dikhawatirkan akan dijadikan sebagai tempat ibadah.”
Dan para sahabat pun belum pernah membangun masjid (tempat ibadah) disekitar kuburan beliau, karena seti*^/##@#
Dan para sahabat pun belum pernah membangun masjid (tempat ibadah) disekitar kuburan beliau, karena setiap tempat yang digunakan untuk sholat berarti telah dijadikan sebagai masjid, bahkan setiap tempat yang dipergunakan untuk sholat disebut masjid, sebagaimana yang telah disabdakan oleh Rasul Shallallahu’alaihi wasallam :
“جعلت لي الأرض مسجدا وطهورا”.
“Telah dijadikan bumi ini untukku sebagai masjid dan suci”.
Dan Imam Ahmad meriwayatkan hadits marfu’ dengan sanad yang jayyid, dari Ibnu Mas’ud, bahwa Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi wasallam bersabda :
“إن من شرار الناس من تدركهم الساعة وهم أحياء، والذين يتخذون القبور مساجد”.
“Sesungguhnya, termasuk sejelek-jelek manusia adalah orang yang masih hidup saat hari kiamat tiba, dan orang yang menjadikan kuburan sebagai tempat ibadah (masjid)” (HR. Abu Hatim dalam kitab shohehnya).
Kandungan bab ini :
Larangan membangun tempat beribadah (masjid) di sisi kuburan orang-orang yang sholeh, walupun niatnya baik.
Larangan keras adanya rupaka-rupaka (gambar/patung) dalam tempat ibadah.
Pelajaran penting yang dapat kita ambil dari sikap keras Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam dalam masalah ini, bagaimana beliau menjelaskan terlebih dahulu kepada para sahabat, bahwa orang yang membangun tempat ibadah di sekitar kuburan orang sholeh termasuk sejelek-jelek makhluk di hadapan Allah. Kemudian, lima hari sebelum wafat, beliau mengeluarkan pernyataan yang melarang umatnya menjadikan kuburan-kuburan sebagai tempat ibadah. Terakhir, beberapa saat menjelang wafatnya, beliau masih merasa belum cukup dengan tindakan-tindakan yang telah diambilnya, sehingga beliau melaknat orang-orang yang melakukan perbuatan ini.
Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam melarang pula perbuatan tersebut dilakukan di sisi kuburan beliau, walaupun kuburan beliau sendiri belum ada.
Menjadikan kuburan nabi-nabi sebagai tempat ibadah merupakan tradisi orang-orang yahudi dan Nasrani.
Rasulullah melaknat mereka karena perbuatan mereka sendiri.
Rasulullah melaknat mereka dengan tujuan memberikan peringatan kepada kita agar tidak berbuat hal yang sama terhadap kuburan beliau.
Alasan tidak ditampakkannya kuburan beliau karena kekhawatiran akan dijadikan sebagai tempat ibadah.
Pengertian “menjadikan kuburan sebagai tempat ibadah” ialah [melakukan suatu ibadah, seperti : shalat di sisi kuburan, meskipun tidak dibangun di atasnya sebuah tempat ibadah].
Rasulullah menggabungkan antara orang yang menjadikan kuburan sebagai tempat ibadah dengan orang yang masih hidup disaat kiamat tiba, dalam rangka memberikan peringatan pada umatnya tentang perbuatan yang menghantarkan kepada kemusyrikan sebelum terjadi, disamping mengingatkan pula bahwa akhir kehidupan dunia adalah merajalelanya kemusyrikan.
Khutbah beliau yang disampaikan lima hari sebelum wafatnya mengandung sanggahan terhadap dua kelompok yang kedua-duanya termasuk sejelek-jelek ahli bid’ah, bahkan sebagian ulama menyatakan bahwa keduanya di luar 72 golongan yang ada dalam umat Islam, yaitu Rafidloh ([1]) dan Jahmiyah([2]). Dan sebab orang-orang Rafidloh inilah kemusyrikan dan penyembahan kuburan terjadi, dan mereka itulah orang pertama yang membangun tempat ibadah diatas kuburan.
Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam [adalah manusia biasa] merasakan beratnya sakaratul maut.
Pernyataan bahwa kholil itu lebih tinggi derajatnya dari pada habib ( kekasih ).
Pernyataan bahwa Abu Bakar Radhiallahu’anhu adalah sahabat Nabi yang paling mulia.
Hal tersebut merupakan isyarat bahwa Abu Bakar akan menjadi Kholifah (sesudah beliau).
([1]) Rafidhah adalah salah satu sekte dalam aliran syi’ah. Mereka bersikap berlebih-lebihan terhadap Ali bin Abi Tholib dan ahlul bait, dan mereka menyatakan permusuhan terhadap sebagian besar sahabat Rasulullah, khususnya Abu Bakar dan Umar.
([2]) Jahmiyah adalah aliran yang timbul pada akhir khilafah Bani Umayyah. Disebut demikian, karena dinisbatkan pada nama tokoh mereka, yaitu Jahm bin Shofwan At Tirmidzi, yang terbunuh pada tahun 128 H. di antara pendapat aliran ini adalah menolak kebenaran adanya Asma’ dan Sifat Allah, karena menurut anggapan mereka Asma dan Sifat adalah ciri khas makhluk, maka apabila diakui dan ditetapkan untuk Allah berarti menyerupakan Allah dengan makhlukNya.
PENYEBAB UTAMA KEKAFIRAN ADALAH BERLEBIH-LEBIHAN DALAM MENGAGUNGKAN ORANG-ORANG SOLEH
Firman Allah Subhanahu wata’ala :
]يا أهل الكتاب لا تغلوا في دينكم ولا تقولوا على الله إلا الحق[
“Wahai orang-orang ahli kitab, janganlah kalian melampaui batas dalam agama kalian, dan janganlah kalian mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar.” (QS. An nisa’, 171).
Dalam shoheh Bukhori ada satu riwayat dari Ibnu Abbas Radhiallahu’anhu yang menjelaskan tentang firman Allah Subhanahu wata’ala :
]وقالوا لا تذرن آلهتكم ولا تذرن ودا ولا سواعا ولا يغوث ويعوق ونسرا[
“Dan mereka (kaum Nabi Nuh) berkata : janganlah sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) Tuhan-tuhan kamu, dan janganlah sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) Wadd, Suwa’, Yaghuts, Ya’uq maupun Nasr” (QS. Nuh, 23)
Beliau (Ibnu Abbas) mengatakan : “Ini adalah nama orang-orang sholeh dari kaum Nabi Nuh, ketika mereka meniggal dunia, syetan membisikan kepada kaum mereka agar membikin patung-patung mereka yang telah meninggal di tempat-tempat dimana disitu pernah diadakan pertemuan-pertemuan mereka, dan mereka disuruh memberikan nama-nama patung tersebut dengan nama-nama mereka, kemudian orang-orang tersebut menerima bisikan syetan, dan saat itu patung-patung yang mereka buat belum dijadikan sesembahan, baru setelah para pembuat patung itu meninggal, dan ilmu agama dilupakan, mulai saat itulah patung-patung tersebut mulai disembah”.
Ibnul Qoyyim berkata ([1]): “banyak para ulama salaf mengatakan : “setelah mereka itu meninggal, banyak orang-orang yang berbondong-bondong mendatangi kuburan mereka, lalu mereka membikin patung-patung mereka, kemudian setelah waktu berjalan beberapa lama ahirnya patung-patung tersebut dijadikan sesembahan”.
Diriwayatkan dari Umar Radhiallahu’anhu bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda :
“لا تطروني كما أطرت النصارى عيسى بن مريم، إنما أنا عبد، فقولوا عبد الله ورسوله”
“Janganlah kalian berlebih-lebihan dalam memujiku, sebagaimana orang-orang Nasrani berlebih-lebihan dalam memuji Isa bin Maryam. Aku hanyalah seorang hamba, maka katakanlah : Abdullah (hamba Allah) dan Rasulullah (Utusan Allah)” (HR. Bukhori dan Muslim).
Dan Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda :
“إياكم والغلو، فإنما أهلك من كان قبلكم الغلو”
“Jauhilah oleh kalian sikap berlebih-lebihan, karena sesungguhnya sikap berlebihan itulah yang telah membinasakan orang-orang sebelum kalian” (HR. Ahmad, Turmudzi dan Ibnu majah dari Ibnu Abbas Radhiallahu’anhu).
Dan dalam shoheh Muslim, Ibnu Mas’ud Radhiallahu’anhu berkata : bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda :
“هلك المتنطعون ” قالها ثلاثا.
“Binasalah orang-orang yang bersikap berlebih-lebihan” (diulanginya ucapan itu tiga kali).
Kandungan dalam bab ini :
Orang yang memahami bab ini dan kedua bab setelahnya, akan jelas baginya keterasingan Islam, dan ia akan melihat betapa kuasanya Allah itu untuk merubah hati manusia.
Mengetahui bahwa awal munculnya kemusyrikan di muka bumi ini adalah karena sikap berlebih-lebihan terhadap orang-orang sholeh.
Mengetahui apa yang pertama kali diperbuat oleh orang-orang sehingga ajaran para Nabi menjadi berubah, dan apa faktor penyebabnya ?, padahal mereka mengetahui bahwa para Nabi itu adalah utusan Allah.
Mengetahui sebab-sebab diterimanya bid’ah, padahal syari’ah dan fitrah manusia menolaknya.
Faktor yang menyebabkan terjadinya hal diatas adalah tercampur aduknya kebenaran dengan kebatilan ;
Adapun yang pertama ialah : rasa cinta kepada orang-orang sholeh.
Sedang yang kedua ialah : tindakan yang dilakukan oleh orang orang ‘alim yang ahli dalam masalah agama, dengan maksud untuk suatu kebaikan, tetapi orang-orang yang hidup sesudah mereka menduga bahwa apa yang mereka maksudkan bukanlah hal itu.
Penjelasan tentang ayat yang terdapat dalam surat Nuh ([2]).
Mengetahui watak manusia bahwa kebenaran yang ada pada dirinya bisa berkurang, dan kebatilan malah bisa bertambah.
Bab ini mengandung suatu bukti tentang kebenaran pernyataan ulama salaf bahwa bid’ah adalah penyebab kekafiran.
Syetan mengetahui tentang dampak yang diakibatkan oleh bid’ah, walaupun maksud pelakunya baik.
Mengetahui kaidah umum, yaitu bahwa sikap berlebih-lebihan dalam agama itu dilarang, dan mengetahui pula dampak negatifnya.
Bahaya dari perbuatan sering mendatangi kuburan dengan niat untuk suatu amal shalih.
Larangan adanya patung-patung, dan hikmah dibalik perintah menghancurkannya (yaitu : untuk menjaga kemurnian tauhid dan mengikis kemusyrikan).
Besarnya kedudukan kisah kaum Nabi Nuh ini, dan manusia sangat memerlukan akan hal ini, walaupun banyak diantara mereka yang telah melupakannya.
Satu hal yang sangat mengherankan, bahwa mereka (para ahli bid’ah) telah membaca dan memahami kisah ini, baik lewat kitab-kitab tafsir maupun hadits, tapi Allah menutup hati mereka, sehingga mereka mempunyai keyakinan bahwa apa yang dilakukan oleh kaumnya Nabi Nuh adalah amal ibadah yang paling utama, dan merekapun beranggapan bahwa apa yang dilarang oleh Allah dan Rasulnya adalah kekafiran yang menghalalkan darah dan harta.
Dinyatakan bahwa mereka berlebih-lebihan terhadap orang-orang sholeh itu tiada lain karena mengharapkan syafaat mereka.
Mereka menduga bahwa orang-orang berilmu yang membikin patung itu bermaksud demikian.
Pernyataan yang sangat penting yang termuat dalam sabda Nabi : “Janganlah kalian memujiku dengan berlebih-lebihan, sebagaimana orang-orang Nasrani berlebih-lebihan dalam memuji Isa bin Maryam”. Semoga sholawat dan salam senantiasa dilimpahkan Allah kepada beliau yang telah menyampaikan risalah dengan sebenar benarnya.
Ketulusan hati beliau kepada kita dengan memberikan nasehat bahwa orang-orang yang berlebih-lebihan itu akan binasa.
Pernyataan bahwa patung-patung itu tidak disembah kecuali setelah ilmu [agama] dilupakan, dengan demikian dapat diketahui nilai keberadaan ilmu ini dan bahayanya jika hilang.
Penyebab hilangnya ilmu agama adalah meninggalnya para ulama.
([1]) Abu Abdillah : Muhammad bin Abu Bakar bin Ayyub bin Sa’d Az Zur’I Ad Dimasqi, Ibnu Qoyyim Al Jauziyah. Seorang ulama besar dan tokoh gerakan da’wah Islamiyah; murid syekhul Islam Ibnu Taimiyah. Mempunyai banyak karya ilmiyah. Dilahirkan tahun 691 H (1292 M) dan meninggal tahun 751 H (1350 M).
([2]) Ayat ini menunjukkan bahwa sikap yang berlebih-lebihan dan melampaui batas terhadap orang-orang sholeh adalah yang menyebabkan terjadinya syirik dan tuntunan agama para Nabi ditinggalkan.