MEMECAH BELAH PERSATUAN ⁉️
Jika seseorang atau sekelompok orang, mendakwahkan tauhid dan sunnah dan memperingatkan dari kesyirikan dan bid’ah, lantas dikatakan PEMECAH BELAH PERSATUAN, maka tidak perlu heran, karena jauh sebelumnya, Nabi shallallahu alaihi wa sallam juga dikatakan pemecah belah persatuan ketika mendakwahkan tauhid dan sunnah.
Pada suatu hari Utbah bin Rabi’ah, seorang pembesar kaum Quraisy, datang ke masjid berjumpa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, yang pada saat itu sedang duduk sendirian.
Utbah pun berkata;
يا ابن أخي ، إنك منا حيث قد علمت من السطة في العشيرة ، والمكان في النسب ، وإنك قد أتيت قومك بأمر عظيم ، فرقت به جماعتهم ، وسفهت به أحلامهم ، وعبت به آلهتهم ودينهم ، وكفرت به من مضى من آبائهم ، فاسمع مني أعرض عليك أمورا تنظر فيها لعلك تقبل منا بعضها .
“Hai anak saudaraku, sesungguhnya engkau berasal dari golongan kami, dimana aku tahu keluarga dan kedudukan keturunanmu, yang dengannya engkau ‘MEMECAH BELAH PERSATUAN MEREKA, engkau bodohkan akal pikiran mereka, engkau cela sesembahan dan agama mereka dan engkau kafirkan nenek moyang mereka yang telah pergi. Dengarkanlah aku, aku hendak mengajukan beberapa hal yang perlu engkau tinjau kembali. Mudah-mudahan engkau menerima sebagiannya.” dst. (Tafsir Ibnu Katsir QS; Surah Fushshilat :3-4).
Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam membacakan awal surat Fushshilat kepada Utbah:
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ – حم – تَنْزِيلٌ مِنَ الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ – كِتَابٌ فُصِّلَتْ آيَاتُهُ قُرْآنًا عَرَبِيًّا لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ – بَشِيرًا وَنَذِيرًا فَأَعْرَضَ أَكْثَرُهُمْ فَهُمْ لَا يَسْمَعُونَ
“Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Haa Miim. Diturunkan dari Tuhan Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Kitab yang dijelaskan ayat-ayatnya, yakni bacaan dalam bahasa Arab, untuk kaum yang mengetahui, yang membawa berita gembira dan yang membawa peringatan, tetapi kebanyakan mereka berpaling (daripadanya); maka mereka tidak (mau) mendengarkan” (Surat Fushilat : 1-4)
Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam terus membaca ayat demi ayat sementara Utbah mendengarkannya sampai pada firman Allah subhaanahu wa ta’aala :
فَإِنْ أَعْرَضُوا فَقُلْ أَنْذَرْتُكُمْ صَاعِقَةً مِثْلَ صَاعِقَةِ عَادٍ وَثَمُودَ
“Jika mereka berpaling maka katakanlah: “Aku telah memperingatkan kamu dengan petir, seperti petir yang menimpa kaum ‘Aad dan Tsamud”.
(Surat Fushilat : 13)
Hingga Utbah terperanjat saat mendengar ancaman siksa.
Memang benar Utbah tidak masuk Islam dengan tauhid yang benar yang dibawa oleh Rasulullah tapi jiwanya melunak kepada agama Islam.
Oleh karena itu, bersabarlah dengan apa-apa yang mereka lakukan dan mereka katakan.
Allah Ta’ala berfirman :
وَٱصۡبِرۡ عَلَىٰ مَا يَقُولُونَ وَٱهۡجُرۡهُمۡ هَجۡرٗا جَمِيلٗا
Dan bersabarlah (Muhammad) terhadap apa yang mereka katakan dan tinggalkanlah mereka dengan cara yang baik. (Surat Al-Muzzammil, Ayat 10).
Berkata Ibnu Katsir rahimahullah :
يقول تعالى آمرا رسوله صلى الله عليه وسلم بالصبر على ما يقوله من كذبه من سفهاء قومه ، وأن يهجرهم هجرا جميلا ؛ وهو الذي لا عتاب معه .
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, memerintahkan kepada Rasul-Nya untuk bersabar terhadap ucapan orang-orang yang mendustakannya dari kalangan orang-orang yang kurang akalnya dari kaumnya, dan hendaklah dia menjauhi mereka dengan cara yang baik, yaitu dengan cara yang tidak tercela. (Tafsir Ibnu Katsir).
Berkata Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di rahimahullah,
ومن الأمور النافعة أن تعرف أن أذية الناس لك
وخصوصاً في الأقوال السيئة، لا تضرك بل تضرهم،
“Di antara perkara yang bermanfaat yang mesti kamu ketahui, bahwasanya gangguan manusia kepadamu, khususnya berupa ucapan jelek, tidak memudaratkanmu, bahkan justru memudaratkan mereka.
إلا إن أشغلت نفسك في الاهتمام بها، وسوغت لها أن تملك مشاعرك، فعند ذلك تضرك كما ضرتهم، فإن أنت لم تضع لها بالاً لم تضرك شيئاً.
Kecuali jika kamu sibukkan dirimu dengan memperhatikannya dan kamu biarkan ucapan itu mengendalikan kemarahanmu. Maka saat itulah (ucapan itu) akan memudaratkanmu sebagaimana memudaratkan mereka. Jika kamu tidak memperdulikannya, ucapan jelek itu tidak akan memudaratkanmu sama sekali.” (Al Wasailul Mufidah lil Hayatis Sa’idah hlm. 30).