Design a site like this with WordPress.com
Mulakan

NASIHAT KUBUR

NASIHAT KUBUR

Saya adalah tempat paling GELAP maka Terangilah saya dengan TAHAJJUD

Saya adalah tempat paling SEMPIT

makaLuaskanlah saya dengan SILATURAHMI

Saya adalah tempat paling SEPI

Maka Ramaikanlah dengan membaca AL-QUR’AN

Saya tempat binatang yang MENJIJIKKAN

maka Racunilah dengan AMAL SEDEKAH

Saya tempat MUNKAR & NAKIR bertanya

maka persiapkanlah jawabanmu dengan perbanyak mengucapkan Kalimat Laa Ilaha Illallah

Kau datang tanpa pakaian.

Kau pulang pun tanpa pakaian.

Kau datang lemah.

Kau pulang pun lemah.

Kau datang tanpa duit dan harta.

Kau akan pergi tanpa duit dan harta.

Mandian pertama orang yang mandikan.

Mandian terakhir orang jugalah yang mandikan.

Sebab Apa Kahwin ? 

Sebab Apa Kahwin ? 

Jika asas perkahwinan adalah kerana seks, maka pasangan akan selalu bertengkar jika suasana di bilik tidur tidak memuaskan.

Jika asas perkahwinan adalah kerana harta, maka pasangan bakal bercerai jika ekonomi dalam rumah tangga merudum dan muflis. 

Jika asas perkahwinan kerana kecantikan wajah dan tubuh badan, pasangan akan lari apabila rambut beruban, muka kerepot atau badan jadi gendut.

Jika asas perkahwinan kerana anak, maka pasangan akan mencari alasan untuk pergi jika hati (anak) tidak hadir.

Jika asas perkahwinan kerana keperibadian, pasangan akan lari jika orang berubah tingkah lakunya.

Jika asas perkahwinan kerana cinta, hati manusia itu tidak tetap dan mudah terpikat pada hal yang lebih baik, tambahan pula manusia yang dicintai pasti mati atau pergi. 

Jika asas perkahwinan kerana ibadah kepada Allah, sesungguhnya Allah itu kekal dan Maha Pemberi Hidup kepada makhluk-Nya. Allah mencintai hamba-Nya melebihi seorang ibu mencintai bayinya

Perkara-Perkara Yang Disangka Merusak Keikhlasan Ternyata Tidak

Perkara-Perkara Yang Disangka Merusak Keikhlasan Ternyata Tidak

Ada beberapa perkara yang disangka oleh sebagian orang merusak keikhlasan, akan tetapi ternyata tidak merusak keikhlasan. Perkara-perkara tersebut adalah :

Pertama : Beramal dalam rangka mencari surga.

Sebagian orang terlalu berlebihan dan salah faham tentang keikhlasan. Orang yang beramal sholeh karena mencari surga dinamakan oleh Robi’ah al-‘Adawiyah dengan “Pekerja yang buruk”. Ia berkata:

مَا عَبَدْتُهُ خَوْفًا مِنْ نَارِهِ وَلاَ حُبًّا فِي جَنَّتِهِ فَأَكُوْنَ كَأَجِيْرِ السُّوْءِ، بَلْ عَبَدْتُهُ حُبًّا لَهُ وَشَوْقًا إِلَْهِ

“Aku tidaklah menyembahNya karena takut neraka, dan tidak pula karena berharap surgaNya sehingga aku seperti pekarja yang buruk. Akan tetapi aku menyembahNya karena kecintaan dan kerinduan kepadaNya” (Ihyaa’ Uluum ad-Diin 4/310)

Demikian juga Al-Gozali mensifati orang yang seperti ini dengan orang yang ablah (dungu). Ia barkata,

فَالْعَامِلُ ِلأَجْلِ الْجَنَّةِ عَامِلٌ لِبَطْنِهِ وَفَرْجِهِ كَالْأَجِيْرِ السُّوْءِ وَدَرَجَتُهُ دَرَجَةُ الْبَلَهِ وَإِنَّهُ لَيَنَالُهَا بِعَمَلِهِ إِذْ أَكْثَرُ أَهْلِ الْجَنَّةِ الْبَلَهُ وَأَمَّا عِبَادَةُ ذَوِي الْأَلْبَابِ فَإِنَّهَا لاَ تُجَاوِزُ ذِكْرَ اللهِ تَعَالَى وَالْفِكْرِ فِيْهِ لِجَمَالِهِ … وَهَؤُلاَءِ أَرْفَعُ دَرَجَةً مِنَ الْاِلْتِفَاتِ إِلَى الْمَنْكُوْحِ وَالْمَطْعُوْمِ فِي الْجَنَّةِ

“Seseorang yang beramal karena surga maka ia adalah seorang yang beramal karena perut dan kemaluannya, seperti pekerja yang buruk. Dan derajatnya adalah derajat al-balh (orang dungu), dan sesungguhnya ia meraih surga dengan amalannya, karena kebanyakan penduduk surga adalah orang dungu. Adapun ibadah orang-orang ulil albab (yang cerdas) maka tidaklah melewati dzikir kepada Allah dan memikirkan tentang keindahanNya maka mereka lebih tinggi derajatnya dari pada derajatnya orang-orang yang mengharapkan bidadari dan makanan di surga” (Ihyaa Uluumid Diin 3/375)

Tentunya ini adalah pendapat yang keliru.

Bisa ditinjau dari beberapa sisi:

Pertama : Allah telah mensifati para nabi dan juga pemimpin kaum mukminin bahwasanya mereka beribadah kepada Allah dalam kondisi takut dan berharap.

Allah berfirman

أُولَئِكَ الَّذِينَ يَدْعُونَ يَبْتَغُونَ إِلَى رَبِّهِمُ الْوَسِيلَةَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ وَيَرْجُونَ رَحْمَتَهُ وَيَخَافُونَ عَذَابَهُ إِنَّ عَذَابَ رَبِّكَ كَانَ مَحْذُورًا (٥٧)

Orang-orang yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari jalan kepada Tuhan mereka siapa di antara mereka yang lebih dekat (kepada Allah) dan mengharapkan rahmat-Nya dan takut akan azab-Nya; Sesungguhnya azab Tuhanmu adalah suatu yang (harus) ditakuti. (QS Al-Isroo : 57)

Allah berfirman tentang ‘Ibaadurrohman bahwasanya mereka takut dengan adzab neraka

وَالَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا اصْرِفْ عَنَّا عَذَابَ جَهَنَّمَ إِنَّ عَذَابَهَا كَانَ غَرَامًا (٦٥)

Dan orang-orang yang berkata: “Ya Tuhan Kami, jauhkan azab Jahannam dari Kami, Sesungguhnya azabnya itu adalah kebinasaan yang kekal”.(QS Al-Furqoon : 65)

Nabi Ibrahim ‘alaihis salaam berkata dalam doanya

وَاجْعَلْنِي مِنْ وَرَثَةِ جَنَّةِ النَّعِيمِ (٨٥)وَاغْفِرْ لأبِي إِنَّهُ كَانَ مِنَ الضَّالِّينَ (٨٦)وَلا تُخْزِنِي يَوْمَ يُبْعَثُونَ (٨٧)

Dan Jadikanlah aku Termasuk orang-orang yang mempusakai surga yang penuh kenikmatan, Dan ampunilah bapakku, karena Sesungguhnya ia adalah Termasuk golongan orang-orang yang sesat, dan janganlah Engkau hinakan aku pada hari mereka dibangkitkan. (QS Asy-Syu’aroo 85-87)

Allah memuji Nabi Zakariya dan juga Nabi Yahya ‘alaihima as-salam dalam firmanNya

إِنَّهُمْ كَانُوا يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ وَيَدْعُونَنَا رَغَبًا وَرَهَبًا وَكَانُوا لَنَا خَاشِعِينَ (٩٠)

Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam (mengerjakan) perbuatan-perbuatan yang baik dan mereka berdoa kepada Kami dengan harap dan cemas. dan mereka adalah orang-orang yang khusyu’ kepada kami. (QS Al-Anbiyaa : 90)

Demikian juga Nabi Muhammad ﷺ terlalu banyak doa-doa beliau meminta surga dan terjauhkan dari neraka.

Kedua : Bahkan Allah mensifati para ulil albab (orang-orang yang berakal dan cerdas) bahwasanya mereka takut dengan adzab neraka dan mengarapkan janji Allah. Yang ini jelas bantahan terhadap Al-Ghozali yang menganggap orang yang mengharapkan surga dan takut neraka sebagai orang yang dungu.

الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَى جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَذَا بَاطِلا سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ (١٩١)رَبَّنَا إِنَّكَ مَنْ تُدْخِلِ النَّارَ فَقَدْ أَخْزَيْتَهُ وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ أَنْصَارٍ (١٩٢)رَبَّنَا إِنَّنَا سَمِعْنَا مُنَادِيًا يُنَادِي لِلإيمَانِ أَنْ آمِنُوا بِرَبِّكُمْ فَآمَنَّا رَبَّنَا فَاغْفِرْ لَنَا ذُنُوبَنَا وَكَفِّرْ عَنَّا سَيِّئَاتِنَا وَتَوَفَّنَا مَعَ الأبْرَارِ (١٩٣)رَبَّنَا وَآتِنَا مَا وَعَدْتَنَا عَلَى رُسُلِكَ وَلا تُخْزِنَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّكَ لا تُخْلِفُ الْمِيعَادَ (١٩٤)

(Yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan Kami, Tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha suci Engkau, Maka peliharalah Kami dari siksa neraka. Ya Tuhan Kami, Sesungguhnya Barangsiapa yang Engkau masukkan ke dalam neraka, Maka sungguh telah Engkau hinakan ia, dan tidak ada bagi orang-orang yang zalim seorang penolongpun. Ya Tuhan Kami, Sesungguhnya Kami mendengar (seruan) yang menyeru kepada iman, (yaitu): “Berimanlah kamu kepada Tuhanmu”, Maka Kamipun beriman. Ya Tuhan Kami, ampunilah bagi Kami dosa-dosa Kami dan hapuskanlah dari Kami kesalahan-kesalahan Kami, dan wafatkanlah Kami beserta orang-orang yang banyak berbakti. Ya Tuhan Kami, berilah Kami apa yang telah Engkau janjikan kepada Kami dengan perantaraan Rasul-rasul Engkau. dan janganlah Engkau hinakan Kami di hari kiamat. Sesungguhnya Engkau tidak menyalahi janji.” (QS Ali ‘Imroon : 191-194)

Ketiga : Setelah Allah menyebutkan tentang kenikmatan-kenikmatan di surga lalu Allah memerintahkan para hambaNya untuk saling berlomba-lomba dalam memperolehnya.

وَفِي ذَلِكَ فَلْيَتَنَافَسِ الْمُتَنَافِسُونَ (٢٦)

dan untuk yang demikian itu hendaknya orang berlomba-lomba. (QS Al-Muthoffifin : 26)

Keempat : Terlalu banyak ayat dalam al-Qur’an penjelasan tentang nikmat-nikmat surga. Maka jika seseorang tercela mengharapkan kenikmatan surga maka seakan-akan Allah telah menyesatkan hamba-hambaNya dengan mengiming-iming mereka dengan nikmat surga. Demikian juga halnya Allah sering menyebutkan tentang perihnya adzab neraka.

Kelima : Diantara kenikmatan surga –bahkan yang merupakan puncak kenikmatan- adalah melihat wajah Allah. Karenanya Nabi ﷺ meminta kepada Allah nikmat ini, sebagaimana dalam doanya :

وَأَسْأَلَُك لَذَّةَ النَّظْرِ إِلَى وَجْهِكَ وَالشَّوْقَ إِلَى لِقَائِكِ

“Dan aku memohon keledzatan memandang wajahMu, dan kerinduan untuk bertemu denganMu” (HR An-Nasaai no 1305 dan dishahihkan oleh Al-Albani)

Orang yang mengaku tidak berharap kenikmatan surga, maka apakah ia tidak ingin melihat wajah Allah?!!

Enam : Banyak hadits yang mempersyaratkan “pengharapan ganjaran dari Allah” pada sebuah amalan.

Contohnya sabda Nabi ﷺ

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

“Barang siapa yang berpuasa di bulan ramadhan karena keimanan dan berharap maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu” (HR Al-Bukhari no 38 dan Muslim no 760)

مَنِ اتَّبَعَ جَنَازَةَ مُسْلِمٍ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا) حَتَّى يُصَلَّى عَلَيْهَا فَلَهُ قِيْرَاطٌ، وَمَنْ شَهِدَهَا حَتَّى تُدْفَنَ فَلَهُ قِيْرَاطَانِ (مِنَ الأَجْرِ)، قِيْلَ: (يَا رَسُوْلَ اللهِ) وَمَا الْقِيْرَاطَانِ؟ قَالَ: مِثْلُ الْجَبَلَيْنِ الْعَظِيْمَيْنِ

“Barangsiapa yang mengikuti janazah muslim karena keimanan dan mengharapkan (ganjaran dari Allah) hingga disholatkan jenazah tersebut maka bagi dia qirot pahala, dan barangsiapa yang menghadiri janazah hingga dikubur maka baginya dua qirot pahala”. Maka dikatakan, “Wahai Rasulullah, apa itu dua qirot?”, Nabi berkata, “Seperti dua gunung besar” (HR Al-Bukhari no 47)

Al-Khotthoobi berkata

احْتِسَابًا أَيْ عَزِيْمَةً وَهُوَ أَنْ يَصُوْمَهُ عَلَى مَعْنَى الرَّغْبَةِ فِي ثَوَابِهِ

“Ihtisaaban” yaitu azimah (tekad) yaitu ia berpuasa karena berharap pahala dari Allah” (Fathul Baari 4/115)

Kedua : Beribadah disertai dengan niat mencari kemaslahatan dunia yang dizinkan oleh syari’at

Banyak dalil yang menunjukan akan hal ini, diantaranya firman Allah

لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَبْتَغُوا فَضْلا مِنْ رَبِّكُمْ

“Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezki hasil perniagaan) dari Tuhanmu” (QS Al-Baqoroh : 198)

Para ulama telah sepakat bahwa seseorang yang melaksanakan ibadah haji sambil berdagang maka hajinya sah, berdasarkan ayat ini. Tentunya seseorang yang berhaji sambil berdagang tidaklah ia memaksudkan dengan perdagangannya untuk Riya’. Karenanya perdagangannya tersebut bukanlah kesyirikan. Akan tetapi niatnya adalah ia berhaji sambil berdagang, dan berdasarkan ayat ini Allah membolehkan niat seperti ini.

Contoh lagi sabda Nabi ﷺ

دَاوُوْا مَرْضَاكُمْ بِالصَّدَقَةِ

“Obati orang-orang sakit diantara kalian dengan sedekah” (Dihasankan oleh Al-Albani dalam Shahih at-Targhib wa at-Tarhiib no 744)

Hadits ini menunjukan akan bolehnya seseorang bersedekah dengan niat agar orang yang sakit dari keluarganya disembuhkan oleh Allah dengan sebab sedekah tersebut.

Nabi juga bersabda :

مَنْ سَرَّهُ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ رِزْقُهُ أَوْ يُنَسَّأَ لَهُ فِي أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ

“Barang siapa yang senang untuk dilapangkan rizkinya dan dipanjangkan umurnya maka hendaknya ia menyambung silaturahmi” (HR Al-Bukhari no 2067 dan Muslim no 2557)

Hadits ini jelas menunjukan akan bolehnya seseorang bersilaturahmi dengan niat agar dilapangkan rizkinya dan dipanjangkan umurnya.

Bahkan Allah berfirman

وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا (٢)وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لا يَحْتَسِبُ

Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan Mengadakan baginya jalan keluar. dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. (QS At-Tholaaq : 2-3)

Ayat ini jelas bahwsanya boleh seseorang bertakwa kepada Allah dengan niat agar diberi jalan keluar oleh Allah dan diberi rizki dari arah yang tidak ia persangkakan.

Sebagian ulama menyangka bahwasanya jika dalam ibadah tercampurkan/tersyarikatkan niat-niat keduniaan maka ibadah tersebut tidak sah. Akan tetapi hal ini merupakan kesalahan. Al-Imam Al-Qoroofi salah seorang ulama besar dari madzhab Maliki telah menjelaskan dengan gamblang tentang perbedaan antara Riya’ dengan mencampurkan niat keduniaan dalam ibadah. 

Al-Qorofi rahimahullah berkata :

“Perbedaan yang ke 102, antara kaidah Riya’ dalam peribadatan dengan kaidah tasyriik (mencampurkan niat keduaniaan) dalam ibadah.

Ketahuilah bahwasanya Riya’ dalam peribadatan adalah syirik, serta mempersyerikatkan bersama Allah dalam ketaatannya. Dan hal ini melazimkan kemaksiatan dan dosa, serta batilnya ibadah tersebut.

Penjelasan kaidah (Riya’) ini dan rahasainya adalah seseorang mengamalkan suatu amalan yang diperintahkan untuk bertaqorrub dan dia memaksudkan dengan amalan tersebut wajah Allah dan juga agar orang-orang mengagungkannya atau sebagian orang, maka dengan diagungkannya dia maka sampailah kemanfaatan orang-orang tersebut kepadanya atau ia terhindarkan dari gangguan mereka. Ini adalah kaidah dari salah satu dari dua model Riya’.

Adapun model yang lain, yaitu ia beramal dengan suatu amalan yang ia sama sekali tidak mengharapkan wajah Allah, akan tetapi ia hanya ingin (pengagungan/sanjungan) manusia saja. Model ini dinamakan dengan riya yang ikhlas, adapun model yang pertama dinamakan dengan Riya’ syirik, karena model ini tidak ada pensyarikatan semata-mata mengharapkan pujian manusia saja, adapun model yang pertama pensyarikatan antara manusia dan Allah….

Adapun hanya sekedar pensyarikatan –seperti seseorang yang berjihad untuk menjalankan ketaatan kepada Allah dengan berjihad dan juga untuk memperoleh harta gonimah- maka hal ini tidaklah memudhorotkannya, serta ijmak (kesepakatan/consensus) ulama bahwasanya hal ini tidak haram baginya, karena Allah menjadikan harta gonimah dalam ibadah jihad. Maka tentunya ada perbedaan antara seseorang yang berjihad agar orang-orang mengatakan “ia adalah seorang pemberani”, atau agar sang imam/pemimpin negara menghormatinya sehingga memberikannya banyak harta dari baitul maal, maka hal ini dan yang semisalnya adalah Riya’ yang haram. Berbeda dengan seseorang yang berjihad untuk memperoleh budak tawanan wanita, hewan tunggangan perang, dan persenjataan musuh, maka hal ini tidaklah memudorotkannya, padahal ia telah mensyerikatkan (niatnya) . Dan tidaklah dikatakan bahwasanya hal ini adalah riya, karena Riya’ adalah ia beramal agar makhluk Allah melihatnya… maka barangsiapa yang tidak melihat dan tidak memandang maka tidaklah dikatakan pada suatu amalan –dari sisinya- adalah Riya’. Harta gonimah dan yang semisalnya tidaklah dikatakan ia melihat atau memandang, maka tidaklah benar jika dikatakan lafal Riya’ kepada benda-benda ini karena mereka tidak melihat.

Demikian pula seseorang yang haji lalu mensyarikatkan dalam hajinya maksud untuk berdagang, yaitu mayoritas tujuannya atau bahkan seluruhnya adalah bersafar untuk berdagang secara khusus, dan hajinya –ia maksudkan atau tidak- akan tetapi hanya bersifat mengikuti tujuan dagangnya. Hal ini juga tidaklah merusak keabsahan hajiaya, dan tidak menimbulkan dosa dan kemaksiatan.

Demikian pula orang yang berpuasa agar tubuhnya sehat, atau agar hilang penyakitnya yang bisa disembuhkan dengan puasa, maka jadilah penyembuhan merupakan tujuannya atau diantara tujuannya dan puasa dibarengkan dalam tujuannya. Lalu ia melakukan puasa disertai dengan tujuan-tujuan ini. Hal ini tidaklah merusak puasanya, bahkan Nabi ﷺ telah memerintahkan dalam sabdanya, “Wahai para pemuda, barang siapa diantara kalian yang telah mampu maka menikahlah, barang siapa yang tidak mampu maka hendaklah ia berpuasa, karena puasa bisa menjadi perisai baginya”, yaitu pemutus syahwatnya. Maka Nabi memerintahkan berpuasa untuk tujuan ini, jika hal ini bisa merusak keabsahan puasa, tentunya Nabi tidak akan memerintahkan hal ini dalam peribadatan, dan juga tidak menyertakan tujuan ini dalam niat ibadah. Diantaranya juga orang yang memperbarui wudunya agar lebih segar dan lebih bersih.

Seluruh tujuan-tujuan ini tidaklah terdapat padanya pengagungan makhluk. Akan tetapi hanyalah pensyerikatan perkara-perkara kemaslahatan yang tidak memiliki indra, dan tidak bisa memiliki indra (penglihatan) dan tidak layak untuk diagungkan. Maka hal ini tidaklah merusak keabsahan ibadah…

Benar bahwasanya tujuan-tujuan ini yang mencampuri ibadah bisa jadi mengurangi ganjaran ibadah. Ibadah yang tujuannya murni dan bersih dari tujuan-tujuan duniawi ini maka pahalanya lebih besar dan banyak. Adapun dosa dan batilnya ibadah maka tidaklah ada dalilnya” (Al-Furuuq li Al-Qoroofi, tahqiq : Umar Hasan Al-Qiyyaam, Muassasah Ar-Risalah, cetakan pertama 3/10-12)

Akan tetapi tentunya ada perbedaan antara seseorang yang niatnya murni semata-mata karena mencari ganjaran akhirat, lantas setelah itu ia memperoleh kenikmatan-kenikmatan dunia. Maka orang yang seperti ini tentunya tidak berkurang sama sekali pahalanya. Berbeda dengan seseorang yang sejak awal beribadah dalam niatnya sudah tercampur niat keduniaan (untuk memperoleh harta dunia) maka orang inilah yang pahalanya berkurang. (Lihat Ihkaam Al-Ahkaam karya Ibnu Daqiiq al-‘Ied hal 492, tahqiq Mushthofa syaikh, terbitan Muassasah Ar-Risalah, cetakan pertama)

Seorang yang berjihad niatnya semata-semata untuk menegakkan kalimat Allah dan berharap ganjara akhirat, lantas setelah itu ia memperoleh gonimah harta rampasan perang musuh maka pahalanya sempurna. Karenanya Nabi ﷺpun serta para sahabat mengambil harta rampasan perang. Berbeda halnya dengan seseorang yang sejak awal berangkat berjihad niatnya sudah tercampur dengan tujuan untuk memperoleh harta rampasan perang. 

Nabi ﷺ bersabda ;

مَا مِنْ غاَزِيَةٍ تَغْزُو فِي سَبِيْلِ اللهِ فَيُصِيْبُوْنَ الْغَنِيْمَةَ إِلاَّ تَعَجَّلُوا ثُلُثَيِ أَجْرِهِمْ مِنَ الآخِرَةِ وَيَبْقَى لَهُمُ الثُّلُثُ وَإِنْ لَمْ يُصِيْبُوا غَنِيْمَةً تَمَّ لَهُمْ أَجْرُهُمْ

“Tidaklah ada pasukan yang berjihad di jalan Allah lalu memperoleh harta gonimah kecuali mereka telah menyegerakan dua pertiga pahala akhirat mereka, dan tersisa bagi mereka sepertiga pahala akhirat mereka. Jika mereka tidak memperoleh gonimah maka sempurnalah pahala mereka” (HR Muslim no 1905)

Karenanya mungkin kita bisa membagi permasalahan ini dalam beberapa bagian berikut:

Pertama : Seseorang yang beribadah murni karena riya, sama sekali tidak terbetik dalam hatinya keinginan untuk meraih pahal akhirat.

Riya yang seperti ini jika selalu terjadi dalam peribadatan, maka hampir-hampir tidak dilakukan oleh seorang muslim, akan tetapi terjadi para orang-orang munafik

Kedua : Seseorang yang beribadah dengan Riya’, ia mengharapkan wajah Allah, ia mengharapkan ganjaran akhirat, akan tetapi ia juga mengharapkan pujian manusia, sanjungan dan pengagungan dari mereka terhadap dirinya.

Inilah Riya’ yang sering menimpa kaum muslimin.

Ketiga : Seseorang yang tatkala beribadah sama sekali tidak terbetik dalam hatinya untuk memperoleh ganjaran akhirat, akan tetapi niatnya murni untuk mencari perkara duniawi, inilah yang dinamakan oleh Al-Qoroofi dengan Riya nya ikhlas.

Allah berfirman :

فَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَقُولُ رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا وَمَا لَهُ فِي الآخِرَةِ مِنْ خَلاقٍ

Maka di antara manusia ada orang yang bendoa: “Ya Tuhan Kami, berilah Kami (kebaikan) di dunia”, dan Tiadalah baginya bahagian (yang menyenangkan) di akhirat. (QS Al-Baqoroh : 200)

Keempat : Seseorang yang beribadah murni ikhlas karena Allah, dan tidak ada dalam niatnya untuk memperoleh pujian manusia, dan juga tidak ada niat untuk memperoleh tujuan duniawi.

Maka orang seperti ini pahalanya sempurna, meskipun setelah itu ternyata ia memperoleh perkara-perkara dunia, baik dipuji atau memperoleh harta dunia karena amalannya maka sama sekali tidak mempengarui kesempurnaan pahalanya.

Hal ini seperti seseorang yang setelah beramal sholeh lalu ia dipuji orang lain, dan kemudian dalam hatinya terbetik rasa gembira dengan pujian tersebut. Maka ini tidaklah mempengaruhi kesempurnaan pahala ibadanya yang telah ia kerjakan dengan ikhlas tidak mengharapkan pujian manusia.

Ada yang menanyakan pada Rasulullah ﷺ,

أَرَأَيْتَ الرَّجُلَ يَعْمَلُ الْعَمَلَ مِنَ الْخَيْرِ وَيَحْمَدُهُ النَّاسُ عَلَيْهِ قَالَ « تِلْكَ عَاجِلُ بُشْرَى الْمُؤْمِنِ ».

“Bagaimana pendapatmu dengan orang yang melakukan suatu amalan kebaikan, lalu setelah itu dia mendapatkan pujian orang-orang. Nabi ﷺ mengatakan, “Itu adalah berita gembira bagi seorang mukmin yang disegerakan.” (HR Muslim no 2642). An-Nawawi rahimahullah mengatakan, “Ini pertanda bahwa Allah ridho dan mencintainya. Lalu Allah menjadi makhluk/manusia mencintainya pula” (Al-Minhaaj Syarh Shahih Muslim 16/189)

Demikian pula seseorang yang berjihad ikhlas dan tidak terbetik dalam hatinya untuk mecari gonimah, lantas setelah itu iapun memperoleh harta gonimah.

Kelima : Seseorang yang beribadah ikhlas karena mengharapkan wajah Allah, akan tetapi ia menyertakan dalam niatnya tujuan-tujuan yang lain, maka kondisi orang ini ada tiga kemungkinan

● Tujuan-tujuan tersebut juga merupakan tujuan yang mulia dan berkaitan dengan akhirat. Maka orang seperti ini memperoleh ganjaran yang ganda berdasarkan niat gandanya. 

Contohnya seseorang imam yang sengaja memperpanjang ruku’nya karena ia merasa ada makmum yang terlambat yang segera ingin ruku’ bersamanya agar memperoleh pahala raka’at. Maka imam ini telah melakukan dua kebaikan. 

Al-‘Iz bin Abdis Salaam berkata, “Apakah perbuatan seorang imam yang menunggu makmum masbuq agar mendapatkan ruku’ termasuk kesyirikan?. Aku katakan bahwasanya sebagian ulama menyangka perkaranya demikian, akan tetapi perkaranya tidak sebagaimana yang mereka sangka. Justru hal ini adalah bentuk mengumpulkan dua qurbah (amal sholeh), karena membantu makmum untuk mendapatkan ruku’ dan ini merupakan amal sholeh tersendiri” (Qowaa’id Al-Ahkaam Fi Mashoolih al-Anaam, karya Al-‘Izz bin Abdis Salaam 1/212, tahqiq DR Utsman Jum’at, Daarul Qolam)

Lalu Al-‘Izz bin Abdis Salaam menyebutkan dalil akan hal ini, yaitu bahwasanya ada seseorang yang sholat sendirian lalu Nabi ﷺ berkata, “أَلآ رَجُلٌ يَتَصَدَّقُ عَلَى هَذَا فَيُصَلَِيَ مَعَهُ؟” Adakah seseorang yang bersedekah terhadap orang ini, lalu sholat berjama’ah bersamanya?. (HR Abu Dawud 574 dan dishahihkan oleh Al-Akbani). Lalu ada seseorang yang sholat bersama orang tersebut. Dan Nabi tidak menjadikan amalan ini sebagai suatu bentuk Riya’ atau kesyirikan (Lihat Qowaa’idul Ahkaam 1/213).

Dalil lain yang menunjukan akan hal ini adalah sabda Nabi ﷺ :

إِنِّي لَأَقُوْمُ إِلَى الصَّلاَةِ وَأَنَا أُرِيْدُ أَنْ أُطَوِّلَ فِيْهَا، فَأَسْمَعُ بُكاءَ الصَّبِيِّ، فأتَجوزُ؛ كراهِيَةَ أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمِّهِ

“Sungguh aku hendak sholat dan aku ingin memperpanjang sholatku, lalu aku mendengar tangisan anak kecil, maka akupun meringankan/mempercepat sholatku kawatir memberatkan ibunya” (HR Abu Dawud no 755 dan dishahihkan oleh Al-Albani)

عَنْ أَبِي قِلاَبَةَ قَالَ جَاءَنَا مَالِكُ بْنُ الْحُوَيْرِثِ فِي مَسْجِدِنَا هَذَا فَقَالَ إِنِّي لَأُصَلِّي بِكُمْ وَمَا أُرِيْدُ الصَّلاَةَ أُصَلِّي كَيْفَ رَأَيْتُ النَّبِيَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي

Dari Abu Qilabah ia berkata, “Malik bin Al-Huwairits radhiallahu ‘anhu datang di masjid kami ini, lalu ia berkata, “Sesungguhnya aku akan sholat mengimami kalian, dan sebenarnya aku tidak ingin sholat, aku sholat sebagaimana aku melihat Nabi shlallallalhu ‘alaihi wa sallam sholat” (HR Al-Bukhari no 677).

Al-Hafiz Ibnu Hajr berkata, “Malik bin al-Huwaits memandang bahwa mengajari tata cara sholat dengan praktek lebih jelas dari pada dengan perkataan. Ini dalil akan bolehnya hal ini, dan hal ini tidak termsuk dlam bab kesyirikan dalam ibadah” (Fathul Baari 2/163)

● Tujuan-tujuan tersebut berkaitan dengan dunia, akan tetapi diperbolehkan dalam syari’at berdasarkan dalil-dalil yang ada. 

Seperti seseorang yang bersilaturahmi selain ingin memperoleh pahala dari Allah ia juga ingin diperpanjang umurnya dan ditambah rizkinya. Atau seseorang yang bersedekah selain karena berharap pahala akhirat ia juga ingin sedekah tersebut sebagai sebab kesembuhan penyakit salah satu anggota keluarganya. Maka dzohir dalil-dalil tersebut menunjukan bahwa niat-niat keduniaan seperti ini tidak mengurangi kesempurnaan pahala ibadahnya. Karena tidak mungkin Nabi ﷺ memotivasi untuk beribadah dengan ganjaran dunia yang bisa mengurangi kesempurnaan pahala akhirat. Nabilah yang memotivasi untuk memperpanjang umur dan lapangnya rizki dengan bersilaturahmi.

Tujuan-tujuan tersebut berkaitan dengan dunia, akan tetapi tidak ada nash/dalil khusus yang menjelaskan akan kebolehannya. Contoh tidak ada dalil bahwasanya jika seseorang menjadi imam masjid lantas akan dilapangkan rizkinya, atau seseorang yang berdakwah akan ditambah rizkinya. Maka kondisi orang yang seperti ini ada dua model:

● Perkara dunia yang menjadi tujuannya ternyata ia tujukan untuk amalan akhirat. 

Contohnya seseorang yang menjadi imam dengan niat untuk memperoleh upah imam, lantas ia niatkan upah tersebut untuk menjalankan amal sholeh, seperti untuk berbakti kepada kedua orangtuanya, atau agar bisa bersedekah pada fakir miskin, dsb. Maka dzohirnya ia sama dengan model yang (1) di atas, yang memiliki tujuan ganda tapi seluruhnya merupakan tujuan akhirat. 

Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata, “Yang mustahab/disunnahkan adalah seseorang mengambil (upah) untuk bisa berhaji, bukan berhaji untuk mengmbil upah. Hal ini berlaku bagi seluruh upah yang diambil dari amal sholeh. Barang siapa yang mencari rizki (mengambil upah) agar bisa belajar atau agar bisa mengajar atau untuk berjihad maka baik. Sebagaimana datang dari Nabi ﷺ bahwasanya beliau bersabda :

مَثَلُ الَّذِيْنَ يَغْزُوْنَ مِنْ أُمَّتِي وَيَأْخُذُوْنَ أُجُوْرَهُمْ مَثَلُ أُمِّ مُوْسَى تُرْضِعُ ابْنَهَا وَتَأْخُذُ أَجْرَهَا

“Permisalan orang-orang yang berperang (berjihad) dari umatku dan mengambil upah mereka (gonimah dan lain-lain ) seperti ibunya nabi Muasa yang menyusui ibunya lalu mengambil upahnya” (Dilemahkan oleh Syaikh Al-Albani)

Nabi menyamakan mereka (para mujahid) dengan seseorang yang melakukan suatu pekerjaan karena suka dengan pekerjaan tersebut, sebagaimana ibunya Musa yang menyusui Nabi Musa. Hal ini berbeda dengan wanita penyusu sewaan.

● Adapun orang yang berbuat dalam bentuk amal sholeh agar bisa memperoleh rizki maka ini termasuk amalan dunia.

فَفَرْقٌ بَيْنَ مَنْ يَكُوْنُ الدِّيْنُ مَقْصُوْدَهُ وَالدُّنْيَا وَسِيْلَةً وَمَنْ تَكُوْنَ الدُّنْيَا مَقْصُوْدَهُ وَالدِّيْنُ وَسِيْلَةً

Maka berbeda antara seseorang yang agama merupakan tujuannya dan dunia hanyalah wasilah/perantara dengan seseorang yang dunia merupakan tujuan sedangkan agama adalah wasilah/perantaranya. Orang yang seperti ini dzohirnya ia tidak akan memperoleh bagian di akhirat” (Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyyah 26/19-20)

Perkara dunia yang menjadi tujuannya adalah tidak ia kaitkan dengan tujuan akhirat. Seperti contohnya ia hanya ingin memperoleh upah imam dalam rangka tujuan-tujuan duniawi murni, maka inilah yang mengurangi kesempurnaan pahala akhirat dan ibadah yang ia lakukan.

TRADISI NENEK MOYANG MEMBUAT KITA BERAT MENERIMA AJARAN ISLAM SECARA KAFFAH

TRADISI NENEK MOYANG MEMBUAT KITA BERAT MENERIMA AJARAN ISLAM SECARA KAFFAH💥

Bismillah

Saudaraku, mari kita baca sejarah:👇

Kaum Nuh menolak dakwah Nabi Nuh ‘alaihi sallam untuk mentauhidkan Allah Azza wa Jalla karena telah terjajah oleh tradisi nenek moyangnya, yaitu menjadikan kuburan orang saleh sebagai berhala.

Nabi Ibrahim ‘alaihi sallam dibakar oleh raja karena menentang tradisi nenek moyang kaumnya yang menyembah patung.

Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam di musuhi kaumnya dan keluarganya karena menabrak tradisi nenek moyang kaumnya.

Begitupun Nabi-Nabi sebelumnya yang dimusuhi oleh pemuja tradisi nenek moyang.

Ahmad bin Hambal, Ibnu Taimiyyah, Ibnu Qayyim rahimakumullah dimusuhi dan dipenjara karena memperjuangkan sunnah dan membersihkan dari tradisi nenek moyang.

Sunan Kalijaga diagung-agungkan pengikutnya karena berhasil memasukkan tradisi nenek moyang ke dalam Islam walau ditentang oleh wali lainnya.

Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah dimusuhi dan dikafirkan oleh warga karena melakukan gerakan pembaharuan untuk membersihkan Islam dari tradisi-tradisi syirik.

Nah, di zaman now ini, ulama-ulama sunnah yang mendakwahkan tauhid anti syirik dan sunnah, anti bid’ah dibenci dan dimusuhi karena suka menabrak tradisi nenek moyang, sampai muncul gerakan membendung dakwah ini dengan nama Islam Nusantara sebagai gerakan untuk melindungi, melestarikan dan mengembangkan tradisi budaya nusantara yang bersumber dari nenek moyang.

Maha benar firman Allah ta a’la atas KERAS KEPALA para penganut TRADISI NENEK MOYANG  bila diseru kepada Al Quran dan As Sunnah, padahal pembuat tradisi itu bukanlah orang yang mendapat PETUNJUK dan TRADISI NENEK MOYANG bisa menyeret kita ke dalam neraka.

ﻭَﺇِﺫَﺍ ﻗِﻴﻞَ ﻟَﻬُﻢُ ﺍﺗَّﺒِﻌُﻮﺍ ﻣَﺎ ﺃَﻧْﺰَﻝَ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻗَﺎﻟُﻮﺍ ﺑَﻞْ ﻧَﺘَّﺒِﻊُ ﻣَﺎ ﻭَﺟَﺪْﻧَﺎ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﺁﺑَﺎﺀَﻧَﺎ ۚ ﺃَﻭَﻟَﻮْ ﻛَﺎﻥَ ﺍﻟﺸَّﻴْﻄَﺎﻥُ ﻳَﺪْﻋُﻮﻫُﻢْ ﺇِﻟَﻰٰ ﻋَﺬَﺍﺏِ ﺍﻟﺴَّﻌِﻴﺮ

ِDan apabila dikatakan kepada mereka, “Ikutilah apa yang diturunkan Allah!” Mereka menjawab, “(Tidak), tetapi kami (hanya) mengikuti kebiasaan yang kami dapati dari NENEK MOYANG kami (mengerjakannya).” Apakah mereka (akan mengikuti nenek moyang mereka) walaupun sebenarnya setan menyeru mereka ke dalam azab api yang menyala-nyala (Neraka)? 

(📖QS. Luqman : 21)

ﻭَﺇِﺫَﺍ ﻗِﻴﻞَ ﻟَﻬُﻢُ ﺍﺗَّﺒِﻌُﻮﺍ ﻣَﺎ ﺃَﻧْﺰَﻝَ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻗَﺎﻟُﻮﺍ ﺑَﻞْ ﻧَﺘَّﺒِﻊُ ﻣَﺎ ﺃَﻟْﻔَﻴْﻨَﺎ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﺁﺑَﺎﺀَﻧَﺎ ۗ ﺃَﻭَﻟَﻮْ ﻛَﺎﻥَ ﺁﺑَﺎﺅُﻫُﻢْ ﻟَﺎ ﻳَﻌْﻘِﻠُﻮﻥَ ﺷَﻴْﺌًﺎ ﻭَﻟَﺎ ﻳَﻬْﺘَﺪُﻭﻥَ

Dan apabila dikatakan kepada mereka, “Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah,” mereka menjawab, “(Tidak!) Kami mengikuti apa yang kami dapati pada nenek moyang kami (melakukannya).” Padahal, nenek moyang mereka itu tidak mengetahui apa pun dan tidak mendapat petunjuk. 

(📖QS. Al Baqarah:170)

Dan ayat yang semisal, yang juga tercantum di surat Al Maidah :104.

Islam tidak anti tradisi, tetapi menolak tradisi bathil yang mengandung kesesatan dan kesyirikan.

Ayo, belajar dari sejarah dan kita tinggalkan tradisi nenek moyang yang meliputi takhyul/khurafat, bid’ah dan syirik, mari melaksanakan Islam secara kaffah sesuai kemampuan kita masing-masing, dan meninggalkan syariat nafsu orang-orang jahiliyah.

ﻭَﺃَﻃِﻴﻌُﻮﺍ ﺍﻟﻠَّﻪَ ﻭَﺍﻟﺮَّﺳُﻮﻝَ ﻟَﻌَﻠَّﻜُﻢْ ﺗُﺮْﺣَﻤُﻮﻥَ

“Dan taatlah kepada Allah dan Rasul (Muhammad), agar kamu diberi rahmat.”

(📖QS. Ali Imran:132).

باركالله فيكم

Setiap Kebaikan Adalah Sedekah

Setiap Kebaikan Adalah Sedekah

~~~

بسم الله الرحمن الرحيم

Ikhwan dan akhwat yang dirahmati Allāh Subhānahu wa Ta’āla, kita masuk ke hadits berikutnya masih dalam bab “Al-Birr wa Ash-Shilah”.

وَعَنْ جَابِرٍ رضي الله عنه قَالَ: قاَلَ رَسُوْلُ اللَّهِ صلى الله عليه و سلم : “كُلُّ مَعْرُوْفٍ صَدَقَةٌ.” أَخْرَجَهُ الْبُخَارِيُّ.

Dari Jābir radhiyallāhu Ta’āla ‘anhu, dia berkata: Rasūlullāh Shallallāhu Alayhi Wasallam bersabda:

“Seluruh perbuatan baik merupakan sedekah.”

(HR Imām Al Bukhari)

Yang dimaksud sabda Nabi:

• Ma’rūf (مَعْرُوْفٍ) adalah lawan dari munkar.

⇒ Munkar, kita tahu perbuatan munkar dan ma’ruf adalah perbuatan kebaikan.

• Kullu ma’rūfin ( كُلُّ مَعْرُوْف), kullu adalah lafazh yang menunjukkan keumuman.

⇒ Yang kalau kita artikan dalam bahasa kita SELURUH perbuatan baik merupakan sedekah.

Hadits ini menjelaskan bahwasanya sedekah di mata syari’at bukan hanya terbatas pada harta, tetapi seluruh perbuatan baik (segala perbuatan kebaikan) juga merupakan sedekah.

Kebaikan apapun juga, entah kebaikan yang berkaitan dengan diri sendiri maupun kebaikan yang berkaitan dengan oranglain, pokoknya yang namanya kebaikan merupakan sedekah.

Dan telah datang dalam hadits-hadits yang lain dimana Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam menjelaskan bahwasanya seluruh kebaikan secara rinci juga merupakan sedekah.

Dalam hadits, Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam mengatakan:

وَكُلُّ تَسْبِيحَةٍ صَدَقَةٌ، وَكُلُّ تَحْمِيدَةٍ صَدَقَةٌ، وَكُلُّ تَهْلِيلَةٍ صَدَقَةٌ، وَكُلُّ تَكْبِيرَةٍ صَدَقَةٌ، وَأَمْرٌ بِالْمَعْرُوفِ صَدَقَةٌ وَنَهْيٌ عَنْ الْمُنْكَرِ صَدَقَةٌ

“Setiap Tasbih merupakan sedekah, setiap Tahmid (mengucapkan alhamdulillāh) juga merupakan sedekah, setiap bertahlil (mengucapkan lā ilāha illa Allāh) merupakan sedekah dan setiap takbir (mengucapkan Allāhu akbar) maka dia juga bersedekah. Dan menyeru oranglain kepada kebaikan juga sedekah dan juga mencegah oranglain dari perbuatan kemungkaran (nahyi munkar) juga dia bersedekah.”

(HR Muslim no. 2376, dari shahābat Abū Dzar)

Kalau tadi Tashbih, Tahlil, Tahmid adalah bersedekah, (maka) ini berkaitan dengan diri hamba; dia memuji Allāh, mengagungkan Allāh maka dia bersedekah kepada dirinya sendiri.

Sekarang yang berkaitan dengan oranglain, (yaitu) seperti amr bin ma’ruf adalah sedekah. Menyuruh oranglain untuk melakukan kebaikan berarti dia sedang bersedekah.

Bahkan dalam perkara yang kita anggap perkara duniawi, kata Nabi Shallallāhu ‘Alayhi wa Sallam:

وَفِـيْ بُضْعِ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ

“Engkau menggauli istrimu engkau telah bersedekah.”

(HR Muslim)

⇒ Menyenangkan hati istri, berhubungan dengan istri ini dinilai sedekah menurut kacamata syari’at.

تَعْدِلُ بَيْنَ اثْنَيْنِ صَدَقَةٌ

Demikian juga jika ada 2 orang datang kemudian menjadikan engkau sebagai hakim (pengambil keputusan) jika engkau berbuat adil kepada keduanya maka berarti engkau telah bersedekah.

وَتُعِينُالرَّجُلَ فِي دَابَّتِهِ فَتَحْمِلُهُ عَلَيْهَا أَوْ تَرْفَعُ لَهُ عَلَيْهَا مَتَاعَهُ صَدَقَةٌ

Demikian juga jika engkau membantu seseorang lalu engkau mengangkatkan barangnya di atas tunggangannya ini juga merupakan sedekah.

(HR Bukhari no. 2989 dan Muslim no. 1009)

⇒ Lihat disini, sedekah tidak mesti dengan uang/harta.

Kita membantu oranglain, (yaitu) sedekah dengan tenaga, mengangkatkan barangnya, meletakkan diatas tunggangannya atau bisa meletakkan diatas mobilnya, kita bantu angkat barang, ini juga merupakan sedekah, kata Nabi Shallallāhu ‘Alayhi wa Sallam.

Kemudian juga Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam mengatakan dalam hadits yang lain:

وَالْكَلِمَةُ الطَّيِّبَةُ صَدَقَةٌ

“Dan berkata-kata yang baik merupakan sedekah.”

(HR Al Bukhari no. 2707 dan Muslim no. 2332)

Seseorang menahan dirinya dari perkataan buruk kemudian berusaha berbicara dengan perkataan yang baik, berarti dia telah bersedekah.

Apakah dia berbicara dengan saudaranya, orangtuanya, istrinya, dia berusaha memilih kata-kata yang baik. Tatkala dia berusaha memilih kata-kata yang baik sesungguhnya dia sedang bersedekah.

⇒ Ini dalil menunjukkan bahwasanya seluruh bentuk kebaikan merupakan sedekah.

Oleh karenanya, ikhwan dan akhwat yang dirahmati Allāh Subhānahu wa Ta’āla,

Ini menjelaskan bahwasanya sedekah tidak terbatas dengan harta saja tetapi dengan segala kebaikan juga merupakan sedekah.

Hal ini menunjukkan sedekah tidak hanya bisa dilakukan oleh orang-orang kaya, orang-orang miskin yang tidak punya harta juga bisa bersedekah.

Namun Allāh membuka cara sedekah dengan cara yang lain, tidak mesti dengan harta.

Dan sebagian ulama mengatakan bahwasanya ini dalil diantara hikmahNya Allāh Subhānahu wa Ta’āla menjadikan ibadah itu bermacam-macam.

Dan ini merupakan ujian bagi hamba. Sebagaimana yang kita katakan di awal pengajian, para hamba berusaha untuk memasuki sebanyak-banyaknya pintu-pintu kebaikan.

Dan juga diantaranya hikmah bahwasanya dibuat banyak pintu-pintu kebaikan artinya Allāh memberi kemudahan bagi siapa saja (setiap orang) bisa bersedekah dan berbuat baik.

• Ada yang bisa berbuat baik dengan hartanya, silakan bersedekah dengan hartanya.

• Ada yang bisa bersedekah dengan tenaganya, maka silakan dia bersedekah dengan tenaganya.

• Ada yang bisa bersedekah dengan pikirannya, maka dia membantu kaum muslimin dengan pikirannya.

• Ada yang bersedekah dengan senyumannya, maka silakan dia senyum kepada saudaranya.

• Ada yang bersedekah dengan kata-kata yang baik, maka silakan dia berkata-kata yang baik dengan saudaranya.

• Ada yang bersedekah di rumah, dia bertasbih, dzikir, bertakbir, maka dia juga bisa bersedekah.

Oleh karenanya, pintu-pintu sedekah dan pintu-pintu kebaikan banyak, maka semakin banyak kita bisa masuk pintu-pintu kebaikan tersebut dan ini yang terbaik.

Dan kalau kita tidak bisa masuk ke seluruh pintu-pintu kebaikan maka kita masuk (ke) yang dimudahkan Allāh Subhānahu wa Ta’āla.

والله تعالى أعلم بالصواب

Persamaan Kesaktian sama dengan Karomah ?

Punya Kesaktian sama dengan Karomah ⁉️

Bismillah

Dulu waktu masih kecil sering dengar cerita masyarakat sekitar bahwa ada kyai dan habib yang punya karomah masing-masing, yaa namanya masih kecil dengar seperti itu jadi bikin takjub, namun belakangan bahwa cerita seperti lebih kental unsur tahayul dan taklid buta daripada sebuah kebenaran, Allahua’lam. 

Perbedaan Karomah dengan Sihir dan Perdukunan

Oleh Ustadz Yulian Purna 

Syaikh Shalih al Fauzan menjelaskan tentang karomah, “Diantara akidah ahlussunah wal Jama’ah adalah membenarkan adanya karomah wali. Karomah wali adalah perkara khawariqul ‘adah (yang di luar kebiasaan manusia) yang Allah jadikan pada diri sebagian wali-Nya, sebagai pemuliaan bagi mereka. Ini ditetapkan dalam al Qur’an dan as Sunnah. 

Orang-orang Mu’tazilah dan Jahmiyah mengingkari adanya karomah. Mereka mengingkari perkara yang sudah menjadi suatu realita. 

Namun perlu kita ketahui bersama, bahwa di zaman sekarang sejak dahulu, banyak orang yang terjerumus dalam kesesatan dalam masalah karomah wali. Mereka ghuluw dalam masalah ini sampai-sampai menganggap sya’wadzah (perdukunan), sihir setan dan dajjal sebagai karomah wali. 

Padahal perbedaannya jelas antara karomah wali dan perdukunan. Karomah dijadikan oleh Allah untuk terjadi pada diri orang yang shalih. Sedangkan sya’wadzah (perdukunan) dilakukan oleh tukang sihir dan orang sesat yang ingin menyesatkan manusia dan meraup harta mereka. Kemudian karomah itu terjadi karena sebab ketaatan dan sya’wadzah terjadi karena kekufuran dan maksiat” (Min Ushuli Aqidah Ahlissunnah, 37-38).

As Sa’di rahimahullah juga menjelaskan:

وشرط كونها كرامة أن يكون من جرت على يده هذه الكرامة مستقيمًا على الإيمان ومتابعة الشريعة ، فإن كان خلاف ذلك فالجاري على يده من الخوارق يكون من الأحوال الشيطانية

“syarat dikatakan karomah adalah ia terjadi pada orang yang lurus imannya dan mengikuti syariat. Jika tidak demikian maka keajaiban yang terjadi padanya adalah dari setan” (Tanbihat Al Lathifah, 107).

Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin rahimahullah menjelaskan:

والكرامة موجودة من قبل الرسول ومن بعد الرسول إلى يوم القيامة ، تكون على يد ولي صالح ، إذا عرفنا أن هذا الرجل الذي جاءت هذه الكرامة على يده هو رجل مستقيم قائم بحق الله وحق العباد عرفنا أنها كرامة . 

وينظر في الرجل فإذا جاءت هذه الكرامة من كاهن – يعني : من رجل غير مستقيم – عرفنا أنها من الشياطين ، والشياطين تعين بني آدم لأغراضها أحياناً

“Karomah sudah ada sebelum diutusnya Rasulullah dan tetap ada sepeninggal beliau hingga hari kiamat. Karomah terjadi pada seorang wali yang shalih. Jika orang yang terjadi karomah pada dirinya kita ketahui ia adalah orang yang lurus agamanya, menjalankan hak-hak Allah, dan menjalankan hak-hak hamba, maka kita ketahui itu adalah karomah.

Dan kita lihat seksama pada orang tersebut, jika karomah tersebut terjadi pada seorang dukun, yaitu orang yang tidak lurus agamanya, maka kita ketahui ia adalah dari setan. Setan terkadang membantu manusia untuk melancarkan tujuan-tujuan setan” (Liqa Baabil Maftuh, 8/8).

Orang sering mengidentikkan karomah wali dengan kesaktian-kesaktian dan berbagai keajaiban. Namun tahukah anda apa karomah wali yang paling “sakti” menurut para ulama?

Ibnu Abil ‘Izz Al Hanafi rahimahullah (wafat 792 H) mengatakan:

في الحقيقة إنما الكرامة لزوم الاستقامة ، وأن الله تعالى لم يكرم عبدا بكرامة أعظم من موافقته فيما يحبه ويرضاه وهو طاعته وطاعة رسوله

“Karomah yang sebenar-benarnya adalah seseorang tetap bisa istiqomah. Allah Ta’ala tidak memuliakan seorang hamba dengan suatu karomah yang paling besar kecuali dengan memberinya taufiq untuk tetap melaksanakan apa-apa yang Allah cintai dan ridhai, yaitu taat kepada Allah dan kepada Rasul-Nya” (Syarah Aqidah Thahawiyah, 2/ 748).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan:

وانما غاية الكرامة لزوم الاستقامة، فلم يكرم الله عبدا بمثل أن يعينه على ما يحبه ويرضاه، ويزيده مما يقربه اليه ويرفع به درجته

“Sesungguhnya karomah yang paling ‘sakti’ adalah seseorang tetap bisa istiqomah. Allah tidak memuliakan seorang hamba dengan kemuliaan yang lebih besar ketimbang ia diberi pertolongan untuk tetap bisa melakukan apa-apa yang Allah cintai dan ridhai, dan menambah apa-apa yang bisa mendekatkan dirinya kepada Allah dan mengangkat derajatnya di hadapan Allah” (Al Furqan baina Auliya-ir Rahman wa Auliya-isy Syaithan, 1/187).

Maka karomah yang paling sakti bukanlah hal-hal ajaib seperti bisa terbang, bisa jalan di atas air, bisa mengubah daun jadi uang, dan semisalnya. Karomah paling sakti adalah seseorang menghabiskan hari-harinya dalam keadaan bisa istiqamah di atas ketaatan dan tidak bermaksiat. Sungguh ini sangat sulit kita dapati pada diri-diri kita, dan andai ada orang yang bisa demikian, dialah wali Allah yang sejati.

Larangan Memandang Rendah Suatu Kebaikan

Larangan Memandang Rendah Suatu Kebaikan

~~~

عَنْ أَبِيْ ذَرٍّ رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللَّهِ صلى الله عليه و سلم : “لاَ تَحْقِرَنَّ مِنَ الْمَعْرُوْفِ شَيْئاً، وَلَوْ أَنْ تَلْقَى أَخَاكَ بِوَجْهٍ طَلْقٍ.” أَخْرَجَهُ مُسْلِمٌ.

Dari Abu Dzarr Radhiyallāhu ‘anhu ia berkata: Rasūlullāh Shallallāhu Alayhi Wasallam bersabda:

“Janganlah kamu meremehkan kebaikan apapun, meskipun kau bertemu dengan saudaramu dengan wajah berseri-seri.”

(Hadits shahīh diriwayatkan oleh Imām Muslim).

~~~

بسم الله الرحمن الرحيم

Ikhwan dan akhwat yang dirahmati Allāh Subhānahu wa Ta’āla, kita lanjutkan hadits berikutnya dan masih dalam Bab Al Birr wa Ash Shilah.

عَنْ أَبِيْ ذَرٍّ رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللَّهِ صلى الله عليه و سلم : “لاَ تَحْقِرَنَّ مِنَ الْمَعْرُوْفِ شَيْئاً، وَلَوْ أَنْ تَلْقَى أَخَاكَ بِوَجْهٍ طَلْقٍ.” أَخْرَجَهُ مُسْلِمٌ.

Dari Abū Dzarr Radhiyallāhu ‘anhu ia berkata: Rasūlullāh Shallallāhu Alayhi Wasallam bersabda:

“Janganlah kamu meremehkan kebaikan apapun, meskipun kau bertemu dengan saudaramu dengan wajah berseri-seri.”

(Hadits shahīh diriwayatkan oleh Imām Muslim).

⇒ Hadits ini menjelaskan bahwasanya syari’at memotivasi kita untuk berbuat kebaikan apapun.

Seluruh yang namanya kebaikan hendaknya kita lakukan karena sabda Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam:

لاَ تَحْقِرَنَّ

“Jangan sekali-sekali engkau meremehkan.”

Karena di situ ada “nun taukid” artinya ini untuk penekanan sehingga maknanya, “JANGAN SEKALI-SEKALI engkau meremehkan”.

مِنَ الْمَعْرُوْفِ شَيْئاً

“Kebaikan sekecil apapun juga (jangan kau remehkan).”

Maka kemudian Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam mencontohkan:

وَلَوْ أَنْ تَلْقَى أَخَاكَ بِوَجْهٍ طَلْقٍ

“Meskipun engkau bertemu dengan saudaramu dengan wajah tersenyum.”

Karena bertemu saudara dengan wajah tersenyum merupakan kebaikan.

Ingat firman Allāh Subhānahu wa Ta’āla:

فَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَرَهُ

“Barangsiapa yang melakukan kebaikan sebesar dzarrah, maka dia akan melihat hasilnya.”

(QS Al-Zalzalah: 7)

Allāh tidak akan melupakan kebaikan apapun meskipun sebesar dzarrah.

⇒ Dzarrah, disebutkan oleh sebagian Ahli Tafsir bisa dimaknakan dengan salah satu dari 3 makna:

• ⑴ Semut kecil

Yang semut kecil itu seandainya kita letakkan di daun timbangan untuk mengetahui berapa gram beratnya seakan-akan hampir-hampir tidak terasa beratnya.

Kalau semut itu berada di pundak kita tidak akan merasa kalau ada semut karena saking ringannya.

⇒ Artinya, kalau ada orang berbuat kebaikan meskipun beratnya sebesar semut ini maka Allāh akan beri balasan.

Maka jangan diremehkan dan balasannya akan ada dihari kiamat kelak.

• ⑵ Misalnya seseorang meletakkan kedua telapak tangannya di tanah sehingga tangannya kotor, kemudian dia tepukkan kedua tangannya maka tersisalah butiran-butiran kecil di tangannya, itulah dzarrah.

Kalau kita ambil satu butir dari butiran-butiran yang ada tersisa di telapak tangan kemudian kita timbang itulah dzarrah.

Kalau kita letakkan di timbangan mungkin tidak ketahuan berapa beratnya, saking ringannya.

• ⑶ Misalnya seorang membuka jendela maka masuk cahaya matahari maka akan dia akan lihat butiran-butiran debu di udara, itulah dzarrah.

Artinya kalau kita ambil 1 butir dan kita timbang tidak akan terasa beratnya.

Namun disisi Allāh Subhānahu wa Ta’āla, Allāh tahu beratnya dan Allāh akan beri balasannya.

Kata Allāh:

فَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَرَهُ

“Barangsiapa melakukan kebaikan sebesar dzarrahpun, Allāh akan berikan balasan.”

Oleh karenanya ikhwan dan akhwat yg dirahmati oleh Allāh Subhānahu wa Ta’āla,

Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam melarang kita untuk meremehkan kebaikan apapun.

Ingatlah, Allāh Maha Tahu. Allāh mengatakan:

وَمَا تَفْعَلُوا مِنْ خَيْرٍ فَإِنَّ اللَّهَ بِهِ عَلِيمٌ

“Kebaikan apapun yang kalian lakukan maka Allāh Maha Mengetahui.”

(QS Al-Baqarah: 215)

Meskipun orang lain tidak tahu engkau senyum kepada orang lain, mungkin orang tidak peduli dengan senyumanmu atau mungkin engkau sendiri juga lupa dengan senyumanmu, tapi Allāh tidak lupa.

Allāh mengatakan:

فَإِنَّ اللَّهَ بِهِ عَلِيمٌ

Allāh mengetahui senyumanmu tersebut, Allāh mengetahui kebaikanmu tersebut.

Jadi kita berusaha melakukan kebaikan apapun meskipun orang lain tidak tahu, Allāh Maha Tahu.

Meskipun orang lain melupakan kebaikan kita atau bahkan kita sendiri melupakan kebaikan kita.

Dan Allāh tidak akan lupa dan Allāh akan memberi ganjaran di akhirat kelak.

Ikhwan dan akhwat yang dirahmati Allāh Subhānahu wa Ta’āla,

Betapa kita butuh dengan kebaikan di akhirat kelak karena di akhirat kelak kita butuh timbangan kebaikan kita menjadi berat.

Allāh Subhānahu wa Ta’āla berfirman:

فَأَمَّا مَن ثَقُلَتْ مَوَازِينُهُ (٦) فَهُوَ فِي عِيشَةٍ رَّاضِيَةٍ (٧)

“Adapun orang yang timbangan kebaikannya lebih berat maka dia akan berada dalam kehidupan yang dia senangi.”

(QS Al Qāri’ah: 6-7)

Dia akan mendapatkan surga dan kita sangat butuh dengan kebaikan timbangan kita menjdi berat.

Oleh karenanya kita berusaha melakukan kebaikan apapun; senyum kepada saudara.

⇒ Ini akan menambah beratnya timbangan kebaikan kita di akhirat, jangan kita remehkan.

Oleh karenanya, seorang berusaha melatih diri untuk bertemu dengan saudaranya dengan wajah berseri-seri, dengan wajah senyum.

Jangan bertemu dengan saudaranya dengan wajah muram, kusam, garang, tetapi kita harus tawādhu’ (rendah diri).

Apa salahnya jika kita senyum?

Apakah kalau kita senyum dengan orang lain berarti kita rendah?

Terkadang setan datang mengabarkan kepada kita kalau kita senyum kepada orang seakan-akan kita rendah, sehingga kita dengan wajah masam seakan-akan angkuh.

Jangan yā, ikhwan!

Kita berusaha senyum kepada setiap orang, hal ini menunjukkan kita tawādhu’ di hadapan Allāh Subhānahu wa Ta’āla.

Kita senyum kepada dia karena perintah dari Nabi Shallallāhu ‘Alayhi wa Sallam dan ini pasti ada balasannya di akhirat kelak.

Oleh karenanya, tebarkanlah senyuman maka niscaya Anda akan mendapatkan ganjaran sebanyak-banyaknya di sisi Allāh Subhānahu wa Ta’āla.

وبالله التوفيق والهداية

السلام عليكم ورحمة الله و بركاته

Berita Walisongo Dalam Timbangan Ahlul Hadits

Berita Walisongo Dalam Timbangan Ahlul Hadits

Abu Ismail Rijal 15 Desember 2018

Soal:

Banyak kisah-kisah aneh dan tidak masuk akal tentang Walisongo. Apa memang demikian senyatanya ? Bagaimana seharusnya kita dalam menyikapi ?

Jawab:

Cerita Walisanga demikian terkenal di tanah Jawa. Namun ada sebuah perkara penting untuk kita telaah, ternyata kisah-kisah wali sanga tidak memiliki kejelasan dan bukti ilmiyah yang bisa diterima.

Tidak ada sanad berita yang bisa dipertanggungjawabkan kecuali hanya “konon”, ”katanya” dan “ceritanya”.

Tulisan ini tidak lain kecuali untuk mengajak kita merenung dan berbagi faedah dengan keikhlasan, ketenangan dan mengharapkan pahala Allah. Sungguh seorang muslim mencintai kebaikan untuk saudaranya sebagaimana dia suka kebaikan itu untuk dirinya.

Bukan menafikkan sejarah penyebaran agama Islam di Indonesia khususnya tanah Jawa, namun mengajak berfikir kritis menimbang antara khurofat yg tidak jelas sumbernya yang tidak sesuai syariat Islam.

Dalam kisah sunan Kalijogo misalnya, konon Raden Mas Said (nama asli sunan kalijogo) diperintah gurunya (sunan Bonang) untuk bertapa di pinggir kali menunggu tongkat sang guru, dengan pesan jangan sekali kali meninggalkannya. Ternyata waktu penantian sangat lama hingga tubuhnya berlumut, terkenallah kemudian dengan julukan Sunan Kalijogo.

Kisah ini sangat mengherankan.

Bukankah Islam tidak mengajarkan umatnya untuk menyusahkan diri ?

Bukankah Islam tidak mengajarkan umatnya untuk meninggalkan shalat berjamaah lima waktu, atau meninggalkan shalat jumat ?

Jika sang guru jika berpegang dengan syareat islam kenapa tidak berwasiat kepada muridnya untuk memenuhi panggilan adzan dan menunaikan shalat lima waktu.

Kisah ini diantara kisah walisongo yang ternyata tidak ada satu sandaran berita pun yang bisa dipegangi kebenarannya.

Saudaraku yang aku cintai fillah, Allah subhanahu wata’la memerintahkan agar kita memiliki sikap tatsabbut “teliti” dalam menerima berita, terlebih berita yang kemudian dijadikan sandaran untuk berkeyakinan. 

Dalam surat Al-Hujurat Allah berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَى مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ

Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu. Al-Hujurat: 6

Berdasarkan ayat ini, para ulama Islam dari kalangan shahabat, tabi’in, at-baut tabi’in termasuk ulama sesudahnya para ulama ahli hadits semisal Imam Malik, Imam Syafi’i, Imam Ahmad, Imam Al Bukhari, Imam Muslim dan seterusnya, mereka sangat konsisten untuk meneliti berita-berita yang sampai kepada mereka terlebih berita yang disandarkan kepada Rasulullah shallallohu’alaihi wasallam.

Dengan cara meneliti orang-orang yang menukilkan berita itulah kemudian diketahui benar tidaknya sebuah berita dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam, atau berita lainnya.

Dengan meneliti para pembawa berita, tersaringlah antara hadits yang shahih dengan hadits yang lemah atau palsu.

Para ulama ketika mendengar nukilan berita dari Rasulullah shollallohu’alaihi wasallam atau shahabat atau tabi’in segera mereka meneliti sumber penukilan berita. Dari siapakah berita ini? Apakah Dia seorang yang terpercaya dan baik agamanya ? Apakah hafalannya kuat atau lemah hafalannya ? Apabila dalam sanad (rangkaian perawi) ada yang terputus, atau ada seorang yang lemah hafalannya, atau seorang yang tertuduh pendusta atau seorang pendusta, maka berita tersebut ditolak dan dinyatakan sebagai berita yang Dhaif (lemah) atau maudhu’ (palsu).

Allahuakbar !! Allah jaga agama ini, dengan dinukilkannya berita melalui orang-orang yang adil lagi terpercaya. Demikianlah seharusnya seorang bersikap terhadap berita.

Kembali kepada kisah-kisah walisongo, ada beberapa hal yang perlu dicermati sebagai bukti tidak benarnya banyak kisah kisah wali songo:

1- Cerita-cerita wali sarat dengan perkara-perkara mistik, tidak masuk akal serta menyelisihi syareat Rosululloh shollallohu’alaihi wasallam.

2- Berita berita walisongo sama sekali tidak bersanad. Adakah diantara mereka yang menghikayatkan kisah walisanga mampu menyebutkan sanad (sumber berita) yang terpercaya untuk kita cek kebenaran beritanya ???

Ternyata berita-berita itu tidak memiliki sumber berita yang jelas. Kalau demikian lalu apa bedanya berita walisongo dengan hadits hadits yang dihukumi palsu oleh Imam Syafii, Imam Ahmad dan lainnya?

Sangat menyedihkan seandainya kisah-kisah wali dibaca dan diyakini ?

Diantara kisah yang aneh tentang sunan kalijogo, dikisahkan bahwa sunan kalijogo menghidupkan anak yang sudah mati. Apakah anda juga meyakininya sementara tidak ada satupun sandaran berita yang bisa dipertanggungjawabkan ? Sekalilagi mohon untuk dijawab, adakah sandaran berita bagi dongeng Sunan Kalijaga menghidupkan anak kecil ?

3- Disamping tidak memiliki sandaran berita, ada sisi lain yang menunjukkan ketidak ilmiyahan berita walisanga. Kisah walisanga ternyata memiliki beberapa versi dan penafsiran. Berita yang disebarluaskan tidak jelas seperti ini adalah salah satu ciri-ciri berita dha’if (lemah), atau palsu (dusta).

Sebagai penutup, sekali lagi: Adakah diantara pembaca atau penulis artikel wali Sanga mendatangkan bukti-bukti otentik yang bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiyah dihadapan manusia sebelum nanti dipertanggungjawabkan di hadapan Alloh ?

Atau kisah-kisah yang penuh misteri dan mistik itu dibiarkan tersebar dan menjadi keyakinan dan tuntunan? siapkah kita menanggung dosa atas penyimpangan keyakinan dengan sebab meyakini dan menyebarkan kisah-kisah tersebut ?? Allohulmusta’an.

APA TUJUAN IBADAHMU ?

APA TUJUAN IBADAHMU ⁉️JANGAN SAMPAI SALAH NIAT ‼️

Ada orang yang semangat bersedekah dengan tujuan agar mendapat ganti nominal berlipat-lipat ganda dari sedekahnya.

Ada orang yang sering berangkat haji dan umroh dengan tujuan cuma sekedar ingin jalan2, disana berdoa ingin sukses, ingin kaya, ingin terpilih menjadi pejabat.

Ada orang yang belajar diperguruan tinggi dengan tujuan agar kedudukannya dihormati, mendapat pekerjaan berkelas dan mendapat kemudahan harta.

Ada orang yg semangat shalat Dhuha dengan tujuan agar rezekinya lancar, usahanya maju dan dagangannya laris.

Ada orang yg rajin puasa dengan tujuan agar masuk CPNS bisa lolos, hajatnya segera terkabul, badannya menjadi langsing, sembuh dari penyakit.

⁣Ada orang yg semangat membaca sholawat hingga 1000x bahkan 4444x dengan tujuan agar rumah, mobil, motor dan barang2 yg di impikan bisa terwujud. Terlebih memberatkan diri dengan tawaf mengitari rumah atau mobil yg diimpikan.

Ada orang yg semangat sholat tahajjud dengan tujuan agar pangkat, jabatan, karier dan usahanya segera sukses.

Maka berhati-hatilah dengan niat ibadahmu, jangan sampai kita banyak melakukan amal shalih dan semangat beribadah namun dalam catatan amal kita diakhirat kosong, sebab apa yg kita kerjakan hanya mengharap kesuksesan untuk dunia.

Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:⁣

{مَنْ كَانَ يُرِيدُ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَزِينَتَهَا نُوَفِّ إِلَيْهِمْ أَعْمَالَهُمْ فِيهَا وَهُمْ فِيهَا لا يُبْخَسُونَ. أُولَئِكَ الَّذِينَ لَيْسَ لَهُمْ فِي الآخِرَةِ إِلا النَّارُ وَحَبِطَ مَا صَنَعُوا فِيهَا وَبَاطِلٌ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ}

“Barangsiapa menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya kami berikan kepada mereka balasan amal perbuatan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Merekalah orang-orang yang di akhirat (kelak) tidak akan memperoleh (balasan) kecuali neraka dan lenyaplah apa (amal kebaikan) yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka lakukan” (QS Huud: 15-16).

Imam Qatadah bin Di’amah al-Bashri berkata

tentang makna ayat di atas: “Barangsiapa yang menjadikan dunia (sebagai) target (utama), niat dan ambisinya, maka Allah akan membalas kebaikan-kebaikannya (dengan balasan) di dunia, kemudian di akhirat (kelak) dia tidak memiliki kebaikan untuk diberikan balasan. Adapun orang yang beriman, maka kebaikan-kebaikannya akan mendapat balasan di dunia dan memperoleh pahala di akhirat (kelak)” (Dinukil oleh Imam Ibnu Jarir ath-Thabari dalam tafsir beliau 15/264).

Allah juga berfirman dalam Surat Asy-Syura Ayat 20:

 مَن كَانَ يُرِيدُ حَرْثَ ٱلْءَاخِرَةِ نَزِدْ لَهُۥ فِى حَرْثِهِۦ ۖ وَمَن كَانَ يُرِيدُ حَرْثَ ٱلدُّنْيَا نُؤْتِهِۦ مِنْهَا وَمَا لَهُۥ فِى ٱلْءَاخِرَةِ مِن نَّصِيبٍ 

Barang siapa yang menghendaki keuntungan di akhirat akan Kami tambah keuntungan itu baginya dan barang siapa yang menghendaki keuntungan di dunia Kami berikan kepadanya sebagian dari keuntungan dunia dan tidak ada baginya suatu bahagianpun di akhirat.

Inilah alasan kenapa Abdurahman bin Auf sering menangis ketika mendapatkan kenikmatan duniawi. Sahabat yg mulia ini khawatir bila kenikmatan di dunia saat ini merupakan nikmat akhirat yg disegerakan. Hingga kelak di akhirat tak didapatkan lagi nikmat-nikmat itu..

Karena itu luruskan lagi niat-niat kita dalam ibadah.

Jangan sampai ibadah yang kita kerjakan hanya karena mengharapkan balasan dunia.

Niatkanlah Sedekah, Haji, Menuntut ilmu, Sholat dhuha, Puasa, Sholat tahajjud, Membaca sholawat semua karena Allah Ta’ala dan semoga mendapat balasan pahala terbaik di akhirat kelak.

Adapun kesuksesan dunia dan kenikmatan dunia, biarlah menjadi bonus, dan bukan tujuan utama dari ibadah kita.

Sehingga dengan demikian kita akan beruntung di dunia dan di akhirat. Bukan sekedar beruntung di dunia namun rugi di akhirat.

Semoga Allah Ta’ala memberikan Taufiq dan Hidayah kepada kita sehingga mampu meluruskan niat dalam setiap ibadah kita. Aamiin.

Ujub dengan Harta

Ujub dengan Harta

Al-Gozali rahimahullah berkata :

“Ujub dengan harta sebagaimana firman Allah tentang si pemiliki dua kebun yang berkata :

أَنَا أَكْثَرُ مِنْكَ مَالا وَأَعَزُّ نَفَرًا

“Hartaku lebih banyak dari pada hartamu dan pengikut-pengikutku lebih kuat” (QS Al-Kahfi : 34)

Rasulullah ﷺ melihat seseorang yang kaya, lalu duduk di sampingnya seorang yang miskin, maka si kaya inipun mengumpulkan pakaiannya dan mau menjauh dari si miskin. Maka Nabi ﷺ berkata kepada si kaya :

أَخَشِيْتَ أَنْ يَعْدُوَ إِلَيْكَ فَقْرُهُ

“Apakah engkau takut kemiskinannya akan menular padamu?” (HR Ahmad dalam kitabnya Az-Zuhud)

Si kaya melakukan demikian karena ia ujub dengan kekayaannya. Obat ujub ini adalah hendaknya dia merenungkan tentang akibat-akibat buruk dari harta, mengingat tentang betapa banyaknya hak-hak harta dan betapa besarnya bencana harta, dan hendaknya ia melihat kepada keutamaan orang-orang miskin dimana mereka lebih dahulu masuk surga pada hari kiamat, dan harta datang dan pergi tanpa tersisa, dan melihat bahwasanya diantara orang-orang yahudi ada yang hartanya lebih banyak daripada hartanya, dan hendaknya ia merenungkan sabda Nabi ﷺ

بَيْنَمَا رَجُلٌ يَتَبَخْتَرُ فِي حُلَّةٍ لَهُ قَدْ أَعْجَبَتْهُ نَفْسُهُ إِذْ أَمَرَ اللهُ الأَرْضَ فَأَخَذَتْهُ فَهُوَ يَتَجَلْجَلُ فِيْهَا إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ

“Tatkala ada seseorang yang berjalan dengan sombong dengan memakai pakaiannya (*yang indah) yang jiwanya dalam keadaan ujub maka Allah memerintahkan bumi sehingga menelannya, lalu iapun terombang-ambing dalam bumi hingga hari kiamat” (HR Al-Bukhari no 5789 dan Muslim no 2088)

Rasulullah mengisyaratkan tentang hukuman akibat ujub terhadap dirinya dan hartanya (*pakaiannya yang indah)

Abu Dzar radhiallahu ‘anhu berkata:

كُنْتُ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَدَخَلَ الْمَسْجِدَ فَقَالَ لِي يَا أَبَا ذَرٍّ اِرْفَعْ رَأْسَكَ فَرَفَعْتُ رَأْسِي فَإِذَا رَجُلٌ عَلَيْهِ ثِيَابٌ جِيَادٌ ثُمَّ قَالَ اِرْفَعْ رَأْسَكَ فَرَفَعْتُ رَأْسِي فَإِذَا رَجُلٌ عَلَيْهِ ثِيَابٌ خلقة فَقَالَ لِي يَا أَبَا ذَرٍّ هَذَا عِنْدَ اللهِ خَيْرٌ مِنْ قُرَابِ الْأَرْضِ مِثْلِ هَذَا

“Aku pernah bersama Nabi ﷺ lalu beliau masuk ke dalam masjid, lalu ia berkata kepadaku, “Wahai Abu Dzar angkatlah kepalamu!”, maka akupun mengangkat kepalaku tiba-tiba ada seorang yang memakai pakaian yang indah. Lalu Nabi berkata kepadaku, “Angkatlah kepalamu !”, maka akupun mengangkat kepalaku tiba-tiba ada seseorang yang memakai pakaian yang usang, maka Nabi berkata kepadaku, “Wahai Abu Dzar orang ini lebih baik di sisi Allah dari pada sepenuh bumi orang yang tadi” (HR Ibnu Hibban no 681, dan dishahihkan oleh Syu’aib Al-Arnauuth dan Al-Albani)

Dan seluruh yang kami sebutkan dalam kitab Az-Zuhud, kitab Dzam ad-Dunya (mencela dunia), dan kitab Dzam Al-Maal (mencela harta) menjelaskan akan rendahnya orang-orang kaya dan mulianya orang-orang faqir di sisi Allah. Lantas bagaimana bisa terbayangkan ada seorang mukmin yang ujub dengan hartanya, akan tetapi seorang mukmin tidak akan lepas dari rasa takut karena tidak bisa menunaikan hak-hak harta dengan baik, yaitu mengambil harta dengan cara yang halal dan mengeluarkan harta sesuai pada tempatnya. Barangsiapa yang tidak melakukan demikian maka kesudahannya adalah pada kehinaan dan kebinasaan, maka bagaimana bisa ia ujub dengan hartanya?” (Ihyaa ‘Uluumiddiin 3/377)